Perlukah Asisten Pribadi bagi Setiap Anggota DPRD DKI?

Jam : 02:20 | oleh -130 Dilihat

JAKARTA, KOMPAS.com – DPRD DKI Jakarta menggelar dua rapat paripurna dalam rangka membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD DKI Jakarta pada Kamis (20/7/2017).

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham “Lulung” Lunggana mengatakan, dua rapat paripurna itu digelar untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan raperda yang mengatur kenaikan tunjangan mereka.

“Iya (untuk mempercepat) karena kami kan DKI paling lambat ya,” ujar Lulung.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD, perda tersebut harus selesai maksimal pada 2 September 2017.  DPRD DKI Jakarta memasang target penyelesaian lebih cepat, yakni Agustus.

Asisten pribadi

Dalam rapat paripurna tersebut, Fraksi Partai Hanura mengusulkan adanya asisten pribadi bagi setiap pimpinan dan anggota DPRD DKI Jakarta.

“Fraksi Partai Hanura mengusulkan agar di dalam Raperda tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD DKI Jakarta dapat diatur pasal tersendiri tentang asisten pribadi pimpinan dan anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta,” kata anggota Fraksi Partai Hanura Syarifuddin.

Fraksi Partai Hanura menilai beban kerja pimpinan dan anggota DPRD DKI sangat tinggi. Karena itu, asisten pribadi dibutuhkan.

“Karena beban dan intensitas kerja yang sangat tinggi dari pimpinan dewan maupun anggota dewan di Provinsi DKI Jakarta, mengingat kemampuan keuangan Provinsi DKI Jakarta yang sangat cukup untuk menyediakan asisten pribadi (aspri) bagi setiap pimpinan DPRD maupun anggota DPRD,” ujar Syarifuddin.

Usulan adanya asisten pribadi itu didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017. Pasal 215 ayat 2 huruf d UU Nomor 23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Sekretaris DPRD mempunyai tugas untuk menyediakan dan mengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan DPRD dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kebutuhan.

Sementara itu, Pasal 20 ayat 1 huruf c PP Nomor 18 Tahun 2017 menyatakan bahwa pembentukan kelompok pakar atau tim ahli alat kelengkapan DPRD merupakan bagian dari belanja penunjang kegiatan DPRD yang disediakan untuk mendukung kelancaran fungsi, tugas, dan wewenang DPRD.

Pasal 23 ayat 2 PP tersebut juga menyebut bahwa kelompok pakar atau tim ahli alat kelengkapan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling banyak 3 orang untuk setiap alat kelengkapan DPRD. Dengan adanya aturan tersebut, semua fraksi di DPRD DKI Jakarta juga mengusulkan adanya tim ahli.

Namun ada yang mengusulkan jumlah tim ahli yang disediakan mempertimbangkan beban kerja anggota dewan hingga ahli yang melekat untuk setiap anggota DPRD.

Permintaan akan dievaluasi

Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bampeperda) DPRD DKI Jakarta, Lulung Lunggana mengatakan akan membahas semua usulan fraksi-fraksi bersama semua anggota Bampeperda.

“Semua rujukannya itu ada di Peraturan Pemerintah Nomor 18, tidak boleh bergeser. Kalau teman-teman mengusulkan 1 orang staf ahli, kami akan evaluasi besok karena besok kami akan bahas secara internal,” ujar Lulung.

Sementara Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengkritik permintaan anggota DPRD DKI untuk memiliki asisten pribadi. Menurut Djarot, asisten pribadi untuk tiap anggota Dewan tidak proporsional.

“Kalau setiap anggota Dewan punya asisten pribadi atau tenaga ahli, itu fungsinya apa? Berarti kan tambah 106 orang lagi ya, belum lagi fraksinya. Menurut saya yang proporsional saja,” ujar Djarot, Kamis.

Djarot mengatakan memang ada banyak permasalahan yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta. Namun, semua itu masih bisa dijangkau karena jaraknya yang tidak terlalu jauh. Djarot meminta agar usulan tersebut dipikir ulang.

Menurut dia, usulan tersebut tidak perlu dimasukan dalam raperda. Djarot mengatakan, keuangan Pemprov DKI Jakarta memang cukup untuk membiayai asisten pribadi para anggota DPRD DKI. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI tahun ini senilai Rp 72 triliun.

Namun, menurut Djarot, APBD DKI lebih baik digunakan untuk masyarakat.

“Keuangan DKI memang memungkinkan, tapi sebagian besar kita kembalikan untuk program langsung warga tidak mampu, untuk masyarakat yang butuh subsidi KJP, KJS, untuk transportasi, dan rumah susun,” kata dia.

Tunjangan naik

Saat perda yang mengatur kenaikan tunjangan itu disahkan, tunjangan komunikasi intensif pimpinan dan anggota dewan akan naik maksimal 7 kali lipat dari uang representasi ketua DPRD sebesar Rp 3 juta atau menjadi Rp 21 juta. Saat ini, tunjangan komunikasi intensif pimpinan dan anggota dewan 3 kali lipat dari uang representasi ketua DPRD atau sebanyak Rp 9 juta.

Artinya, tunjangan komunikasi intensif untuk setiap pimpinan dan anggota DPRD naik Rp 12 juta per bulannya. Selain itu, saat perda tersebut diteken, anggota DPRD DKI Jakarta bisa memilih menggunakan mobil yang dipinjamkan yakni Toyota Altis atau menerima uang transportasi.

Tunjangan transportasi hanya berlaku bagi anggota dewan. Tunjangan itu tidak berlaku bagi pimpinan DPRD karena mereka sudah mendapatkan kendaraan dinas jabatan yang melekat.

Perda kenaikan tunjangan juga akan mengatur tunjangan reses yang nilainya sama dengan tunjangan komunikasi intensif. Namun, tunjangan reses hanya didapat tiga kali dalam satu tahun.

Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah mengatakan, Pemprov DKI Jakarta telah menyiapkan sekitar Rp 8 miliar untuk kenaikan tunjangan pimpinan dan anggota DPRD DKI Jakarta. Anggaran tersebut disiapkan dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Perubahan 2017.

“Itu kan amanat PP. Kalau amanat PP, kami eksekusi. Tadi sudah dihitung, sekitar Rp 8 miliar untuk tambahannya, sudah disiapin, dimasukin di APBD-P,” ujar Saefullah, Kamis.

Masih menurut Saefullah, anggaran itu dihitung dengan memaksimalkan alokasi kenaikan tunjangan pimpinan dan anggota dewan. Anggaran Rp 8 miliar tersebut juga dihitung dengan perkiraan perda itu bisa disahkan sebelum September 2017. Dengan demikian, anggaran tersebut dapat digunakan mulai September.

“(Untuk) sekitar 3-4 bulan,” ucap Saefullah.

Perda yang mengatur kenaikan tunjangan itu muncul karena ada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017. Pemerintahan di setiap daerah di Indonesia bisa menerapkan PP tersebut, tetapi harus membuat turunan perda. Perda itu harus sudah disahkan dalam waktu 3 bulan setelah PP Nomor 18 Tahun 2017 keluar pada 2 Juni 2017. (kom.c/kris/dul)