Permintaan Fantastis DPRD DKI Sempat Hambat Pengesahan APBD-P

Jam : 02:28 | oleh -186 Dilihat

JAKARTA, ToeNTAS.com,- Pekan lalu, sidang paripurna pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) DKI Jakarta 2017 tertunda. Padahal, ketika itu beberapa anggota DPRD DKI dan pejabat DKI sudah berdatangan ke ruang sidang. Makanan ringan pun sudah disiapkan untuk mereka yang mengikuti jalannya sidang paripurna.

Namun, sidang paripurna itu batal begitu saja tanpa alasan yang pasti.

Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat kemudian mengungkapkan alasan mundurnya pengesahan APBD-P.

“Rencananya kemarin hari Jumat, (tapi) mundur karena belum sepakat soal hitung-hitungan di pergub tentang hak keuangan. Kami belum sepakat, saya enggak mau tanda tangan,” kata Djarot di Lapangan IRTI Monumen Nasional, Jakarta Pusat, Senin (2/10/2017).

Djarot menyebut besar kenaikan tunjangan yang diminta anggota DPRD DKI Jakarta terlalu besar dan tidak rasional.

“Banyak sekali nilai yang saya anggap fantastis, tidak rasional,” ujar Djarot.

Biaya dinas luar negeri

Salah satu yang diperdebatkan adalah anggaran biaya perjalanan ke luar negeri. Kata Djarot, anggota Dewan meminta agar biaya perjalanan ke luar negeri naik. Namun, Djarot kaget karena kenaikannya mencapai 3 kali lipat dari ketentuan yang dimiliki Kementerian Keuangan.

“Masa yang diminta itu tiga kali dari SK Menteri Keuangan? Tidak bisa, harus sama karena itu berlaku bagi ASN (aparatur sipil negara) dan non-ASN,” kata Djarot.

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik mencoba menjelaskan usulan anggota Dewan tentang biaya perjalanan dinas itu. Ia mengatakan, bukan usul naik tiga kali lipat tetapi meminta biaya perjalanan secara real cost.

“Enggak (minta kenaikan). Kan perjalanan itu ada dua, dalam negeri sama luar negeri. Perjalanan dinas luar negeri kami tadinya minta supaya real cost saja,” ujar Taufik.

Biasanya, biaya perjalanan ke luar negeri anggota Dewan disesuaikan dengan pagu anggaran yang ada di pergub. Untuk negara-negara Eropa, anggota Dewan mendapatkan 400 dollar AS per hari untuk biaya hotel, makan, dan transport lokal. Padahal, kata Taufik, biaya hotel bisa mencapai 400 dollar AS per malam.

DPRD DKI usul agar biaya perjalanan ke luar negeri disesuaikan dengan tarif di negara tujuan. Biro Kerja Sama Daerah dan Kerjasama Luar Negeri DKI Jakarta bisa memeriksa tarif penginapan semalam dan membayarnya.

Namun, usulan itu tetap ditolak Djarot karena tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.05/2010. Setelah berdiskusi, akhirnya DPRD DKI sepakat untuk menggunakan ketentuan awal yaitu dengan pagu. Cara menyiasati biaya hotel adalah satu kamar diisi oleh dua orang anggota Dewan.

Setelah kesepakatan itu, Taufik meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merumuskan mekanisme pertanggungjawaban biaya perjalanan ke luar negeri. Sebab, meski satu kamar diisi dua atau tiga anggota Dewan, laporan pertanggungjawaban tetap dibuat oleh setiap anggota.

“Pertanggungjawabannya kayak apa, minta dirumuskan juga dong. Jangan nanti kami yang kena masalah, kan yang tanggung jawab perorang. Nanti BPK bilang, ‘Hotel 410 (dollar), lu dapat 400, lu enggak makan di sana?’ Nanti diotaknya dipikir ada yang bayarin,” ucap Taufik.

Biaya rapat

Hal kedua yang dipermasalahkan adalah tunjangan atau honor rapat bagi anggota Dewan. Menurut Djarot, DPRD DKI mengusulkan besar tunjangan rapat sampai Rp 3 juta sekali rapat.

“Ada biaya rapat, satu orang pimpinan itu Rp 3 juta sekali rapat, kemudian maksimal satu hari tiga kali rapat. Saya enggak mau!” ujar Djarot.

Besar tunjangan rapat yang diusulkan Rp 3 juta untuk ketua DPRD, Rp 2 juta untuk wakil ketua DPRD, dan Rp 500.000 untuk anggota Dewan.

Namun, hal ini langsung dibantah Taufik. Menurut dia, anggota DPRD mendapat honor rapat sebesar Rp 160.000 hingga Rp 200.000 per bulan. Itu pun hanya untuk anggota badan seperti Banggar dan Bapemperda.

“Enggak ada, mana ada biaya rapat, ngawur,” ujar Taufik.

Belakangan, Djarot mengatakan Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi juga menolak usulan honor rapat yang sampai Rp 3 juta itu. Lantas, siapa yang awalnya yang mengusulkan honor rapat sampai sebesar itu?

“Tidak tahu dari siapa, tanya saja (DPRD DKI)” ujar Djarot.

Tunjangan transportasi

Hal terakhir yang diperdebatkan adalah soal tunjangan transportasi. Sesuai dengan Perda tentang Hak Keuangan dan Administrasi Pimpinan dan Anggota DPRD DKI, anggota Dewan boleh memilih antara fasilitas mobil dinas atau tunjangan transportasi. DPRD DKI Jakarta memilih tunjangan transportasi.

Djarot mengatakan belum ada kesepakatan terkait besar tunjangan transportasinya. Awalnya DPRD DKI menunjuk 3 merk mobil untuk dilakukan appraisal yaitu Toyota Land Cruiser Prado, Honda Accord, dan Toyota Camry.

“Saya bilang sesuaikan cc-nya, kapasitas mesinnya. Saya tawarkan ambil yang 2.400 cc dalam hal ini Accord,” kata Djarot.

Siang hari kemarin, APBD-P akhirnya disahkan. Meskipun Djarot sendiri belum menandatangani pergub yang mengatur semua tunjangan yang diperdebatkan itu. Djarot meminta untuk tidak ada aksi saling sandera terkait anggaran ini.

“Saya tidak mau di akhir-akhir ini kemudian saling sandera, lurus saja sesuai aturan itu saja. Makanya APBD-P disetujui dulu, Alhamdulilah, baru pergubnya,” kata Djarot. (kom.c/dado)