Fenomena Murid Tantang Guru, Apakah Pendidikan Keras Jadi Solusi?

Jam : 12:39 | oleh -91 Dilihat

Jakarta, ToeNTAS.com,- Peristiwa murid menantang gurunya di Gresik, Jawa Timur, membuat geram. Haruskah para guru mendidik dengan keras supaya murid lebih sopan seperti cerita-cerita sekolah zaman dulu?

Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jimmy Philip Paat, menilai peristiwa seperti yang terjadi di SMP PGRI Wringinanom itu bukanlah fenomena baru. Begitu pula kenakalan anak-anak sekolah seperti sejumlah murid di SMP Negero 2, Sulawesi Selatan, yang memaki dan memukuli petugas kebersihan di sekolahnya.

“Ini bukan fenomena baru, melainkan masalah yang berulang-ulang namun belum bisa dipecahkan,” kata Jimmy kepada wartawan, Senin (11/2/2019).

Jimmy merupakan produk pendidikan SMA tahun 1971 di Jakarta. Dia menyaksikan sendiri kenakalan murid-murid sekolah era Orde Baru di Ibu Kota. “Anak yang bawa pistol juga ada zaman dulu,” kata Jimmy.

Master sosiologi pendidikan ini tidak melihat faktor metode didik guru sebagai latar belakang kekurangajaran murid. Zaman dulu, guru-guru memang mengajar dengan keras, tapi murid yang nakal juga banyak. “Siapa bilang zaman dulu tidak ada yang seperti ini?” ujarnya

Dia melihat faktor suasana sekolah bertanggung jawab terhadap sikap murid ke guru. Guru tak perlu lebih keras terhadap murid supaya murid menjadi sopan, melainkan guru perlu lebih memotivasi anak untuk berkembang. Dia melihat model sekolah alam sebagai contoh bagaimana pendidikan mampu membangkitkan potensi anak.

“Unsur yang menarik di sekolah-sekolah alam, guru begitu percaya kepada murid, dan murid percaya kepada guru. Rasa saling percaya muncul. Anak-anak itu, kalau diberi kepercayaan, kecil kemungkinan untuk berbuat jahat. Anak jadi merasa memiliki tanggung jawab,” tutur Jimmy.

Itje–sapaan akrabnya–yang mengalami masa SMA pada 1970-an, mengerti bahwa era dulu adalah hal yang umum ketika guru melempar penghapus ke muridnya atau menjewer muridnya. Saat itu, tak ada murid yang berani komplain.

“Anak dulu tidak berani mengungkapkan karena tidak ada tontonan yang memberi contoh terhadap mereka. Tontonan zaman dulu itu terbatas,” kata Itje.

Metode pengajaran yang keras seperti itu bisa membuahkan hasil untuk sebagian murid, namun bisa pula mengakibatkan dampak yang merusak terhadap perkembangan sebagian murid. Sekolah adalah lembaga yang dipercaya seluruh keluarga di Indonesia supaya mampu meluruskan perilaku anak, maka guru perlu mendidik dengan baik.

“Kalau misalnya anak melakukan penyimpangan, kemudian dibalas, kan duel jadinya. Kalau duel, di mana unsur pendidikannya? Padahal orang dewasa adalah pendidik, apalagi yang berbaju guru,” kata Itje.

“Tidak ada alasan guru untuk menjadi keras dalam mendidik, apalagi keras secara fisik. Yang digarap itu mental, bukan fisik. Kenapa muncul perilaku kekerasan fisik? Itu karena ada faktor mental yang rusak, termasuk akibat tontonan dan proses di sekolah,” kata lulusan Universitas Warwick, Inggris, ini.

Suasana pendidikan yang sehat muncul dari cara mendidik yang sehat pula. Perkara mendidik, kata dia, bukan masalah lembek atau keras, melainkan yang mampu membangkitkan semangat positif atau tidak. “Cara lembek saja juga tidak cukup, tetapi harus mempunyai pemahaman tentang pola pendidikan yang benar, memahami perkembangan perilaku anak, sehingga bisa melakukan intervensi yang tepat saat anak berperilaku menyimpang,” kata dia.

Pengamat pendidikan alumni Fakultas Filsafat UGM, Darmaningtyas, memberi pandangan secara umum. Anak-anak bermasalah adalah produk dari keluarga yang tidak ideal. Tidak melulu berangkat dari keluarga dengan ayah dan ibu yang bercerai, atau tanpa ayah dan ibu, anak-anak ini kebanyakan berlatar belakang ‘yatim-piatu semu’.

“Yatim-piatu semu adalah mereka secara status punya orang tua, tapi mereka tidak hidup dengan orang tuanya. Mungkin karena orang tuanya bekerja di kota atau di luar negeri. Ini fenomena umum,” kata Darmaningtyas.

Negara dianggap perlu hadir mengatasi persoalan ini, bukan hanya menguatkan sektor pendidikan formal, tapi juga menguatkan pengasuhan di tingkat keluarga. Di ranah sekolah, fungsi bimbingan konseling (BK) perlu ditingkatkan, tak hanya bekerja saat murid mengalami masalah, namun membuka pintu konsultasi secara umum dan mengamati murid-murid dengan latar belakang keluarga yang tidak ideal.

“Latar belakang keluarga ini terkait dengan masalah murid. Misalnya soal tawuran, banyak di antara pelaku tawuran berasal dari anak-anak yang tinggal di permukiman padat yang kondisi rumahnya sangat tidak nyaman untuk belajar,” kata dia.

Darmaningtyas tak setuju bila guru meningkatkan kadar kekerasan dalam mengajar. Dia sendiri adalah produk pendidikan ‘zaman dulu’, saat guru-guru bersikap keras terhadap muridnya. Dulu para murid tidak berani menggugat sikap guru karena guru sangat dihormati.

“Zaman itu guru berwibawa karena menjadi satu-satunya panutan, sumber informasi, dan pengetahuan. Kalau sekarang kondisinya berubah. Anak bisa memperoleh informasi dari banyak sumber. Bahwa mereka sekolah, itu karena tuntutan formalitas saja. Sebetulnya banyak yang malas sekolah karena guru membosankan, tapi kalau tidak bersekolah kan tidak dapat ijazah, dan hingga saat ini ijazah masih dianggap sangat penting,” tutur Darmaningtyas.(d.c/H)