Terbongkar Korupsi Bansos PKH Bikin Negara Rugi Rp 3,5 Miliar

Jam : 06:57 | oleh -98 Dilihat
Ilustrasi
Ilustrasi

Tangerang, ToeNTAS.com,- Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Tangerang membongkar tindak pidana korupsi dana bantuan sosial (bansos) Program Keluarga Harapan (PKH) yang melibatkan dua pendamping sosial. Kedua pendamping sosial yang kini ditetapkan jadi tersangka itu menyebabkan kerugian negara hingga miliaran rupiah.

Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Tangerang Bahrudin menyebut pihaknya menangkap 2 tersangka yang merupakan pendamping sosial Program Keluarga Harapan (PKH) di 4 desa dari total 12 desa dan 2 kelurahan di Kecamatan Tigaraksa. Kedua tersangka tersebut mengkorupsi dana PKH hingga Rp 3,5 miliar.

“Estimasi kerugian sekitar Rp 3,5 miliar,” ucap Bahrudin di gedung Kementerian Sosial, Selasa (3/8/2021).

Bahrudin pun menjelaskan modus kedua tersangka mengkorupsi dana bansos PKH tersebut. Dia menyebut kedua tersangka akan menipu keluarga penerima manfaat dengan memberikan bansos yang tidak sesuai nominal.

“Modusnya itu si kedua tersangka ini atau pendamping sosial ini meminta kepada KPM atau keluarga penerima manfaat, meminta mengenai ATM-nya, lalu ATM itu oleh pendamping sosial dia ambil sendiri, dia gesek di ATM. Setelah dapat, jumlah yang digesek itu diserahkan kepada KPM itu tidak sesuai dengan apa yang dia gesek. Jadi ada selisih,” ungkapnya.

Bahrudin menyebut memang selisih yang dipotong setiap KPM hanya berkisar Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu. Namun demikian jumlah itu menjadi besar lantaran kedua tersangka menipu seluruh KPM di 4 desa

“Memang kalau dilihat selisih itu ada Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu, tapi kalau dijumlah dengan KPM, itu jumlahnya fantastis. Jadi untuk empat desa saja itu uang yang tidak disalurkan itu sekitar Rp 800 juta,” ucapnya.

Dua pendamping sosial yang ditetapkan tersangka itu bertugas di Kecamatan Tigaraksa. Di kecamatan itu terdapat 12 desa dan 2 kelurahan.

Bahrudin menyebutkan angka dugaan kerugian sekitar Rp 800 juta itu baru berasal dari empat desa. Namun dia menyebut sebetulnya angka kerugiaan itu diduga lebih besar karena untuk wilayah lainnya masih diusut.

“Di samping itu, ada perkara lanjutan yang masih tetap kita laksanakan, masih ada delapan pendamping sosial karena di Kecamatan Tigaraksa itu ada 12 desa dan 2 kelurahan. Yang kami tetapkan sebagai tersangka yaitu pendamping sosial yang mendampingi dari empat desa yang ada di Kecamatan Tigaraksa,” ucap Bahrudin.

“Estimasi kerugian, uang yang tidak disalurkan dalam bantuan sosial PKH 2018-2019 ini untuk Kecamatan Tigaraksa itu sekitar Rp 3,5 miliar. Itu estimasi uang yang tidak bisa disalurkan kepada penerima PKH,” imbuhnya.

Bahrudin menjelaskan kedua tersangka juga kerap menggunakan alasan tidak digaji untuk menipu para PKM. Dengan demikian, kata dia, para PKM ini akan mengasihani kedua tersangka dan memberikan potongan uang dari bansos PKH tersebut.

“Modusnya, pendamping sosial ada yang mengaku tidak digaji, sehingga KPM ini merasa kasihan atau bagaimana akhirnya diambil uang itu oleh pendamping sosial,” ucap Bahrudin.

Kejari Kejar Tersangka Lain

Bahrudin menyebut pihaknya masih mengejar terduga tersangka lain. Dia menyebut masih ada 8 pekerja sosial lainnya yang bekerja di lokasi yang sama dengan kedua tersangka.

“Ada perkara lanjutan yang masih kita lakukan. Masih ada delapan pendamping sosial di Kecamatan Tigaraksa. Yang kami jadikan tersangka (dua orang) adalah pendamping sosial yang membawahi empat desa di sana,” ujarnya

Secara keseluruhan, pendamping sosial di 12 desa dan dua kelurahan di Tigaraksa berjumlah 10 orang. Dalam sambungan telepon dengan detikcom, Bahrudin menyebutkan delapan orang yang sedang dalam pemeriksaan tersebut diduga kuat terlibat kasus serupa.

“Ada bukti yang sangat kuat, jadi seluruhnya ini terlibat dan memiliki pola (korupsi) yang sama. Tinggal tunggu saja waktunya,” tuturnya.

Kedua Tersangka Tak Dijerat Pidana Mati

Pihak Kejari Kabupaten Tangerang menjerat kedua tersangka dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor). Ancaman hukuman maksimal yang diatur pada pasal itu adalah 20 tahun penjara atau seumur hidup.

Sebetulnya dalam aturan hukum di Indonesia ada peluang hukuman mati bagi koruptor bila berkaitan dengan bencana. Aturan itu tertuang pada Pasal 2 ayat 2. Berikut bunyinya:

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Namun penerapan hukuman mati itu tidak sembarangan. Hukuman tersebut hanya dapat diterapkan dalam keadaan tertentu. Syarat tersebut dituangkan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2.

Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter,” demikian bunyi penjelasan tersebut.

Sementara itu, Bahrudin menyampaikan kedua tersangka itu melakukan korupsi bansos PKH pada periode 2018-2019. Sedangkan seperti diketahui, pandemi COVID-19 baru melanda Indonesia pada 2020. Atas dasar itulah akhirnya bukan pasal pidana mati yang dikenakan kepada kedua tersangka.

“Jadi karena 2 orang tersangka ini melakukan korupsinya di tahun 2018-2019, dimana itu belum ada pandemi, sehingga seperti itu (tidak