Ironi Laporan Dosen Mendominasi Kekerasan Seksual ke Mahasiswi

Jam : 06:36 | oleh -471 Dilihat
ilustrasi kekerasan seksual
ilustrasi kekerasan seksual

Jakarta – Komnas HAM hingga BEM SI mengklaim menemukan masih banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Ironisnya, pelaku kekerasan seksual itu didominasi oleh para dosen.

Koordinator Forum Perempuan BEM SI, Zakiah Darajat, mengungkapkan kasus kekerasan seksual oleh dosen di lingkungan kampus banyak menimpa mahasiswa yang sedang bimbingan tugas akhir atau skripsi. Namun, Zakiah tidak menampik ada pula kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh sesama mahasiswa.

“Dari kasus yang terjadi, kita masih mendapati pelakunya dosen ke mahasiswa. Kita tidak menutup mata bahwa bisa jadi mahasiswa ke mahasiswa seperti itu. Tapi dari kasus yang kita temukan di lapangan, memang lebih banyak dosen ke mahasiswa, apalagi yang tengah melakukan bimbingan akhir. Itu kita banyak dapat ceritanya,” kata Zakiah saat diskusi virtual bertajuk ‘Pro Kontra Permendikbud PPKS’, Sabtu (13/11/2021).

Zakiah mengatakan kekerasan seksual oleh dosen lebih banyak dilaporkan dibandingkan kekerasan seksual oleh sesama mahasiswa. Dia menyebut laporan kekerasan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa masih sedikit.

“Tidak tertutup kemungkinan mahasiswa sesama mahasiswa itu bisa terjadi, tapi kebanyakan kasus masuk yang dilaporkan ini dosen ke mahasiswa seperti itu,” tuturnya.

“Walaupun ada beberapa kasus yang ini orang luar ya seperti menunjukkan kelamin tiba-tiba seperti itu. Biasanya ini terjadi dari masyarakat sekitar kampus yang masuk ke kampus, seperti itu. Sejauh ini antara mahasiswa ke mahasiswi atau mahasiswi ke mahasiswa masih minim kita dengar kasusnya,” sambung Zakiah.

Kemudian, lanjut Zakiah, setiap kampus pasti selalu berupaya menjaga nama baiknya apabila kasus kekerasan seksual oleh dosen mencuat. Pasalnya, peristiwa tersebut berpotensi menjadi sorotan orang banyak.

Terlebih, Zakiah menyampaikan pihak kampus pasti dianggap gagal dalam menciptakan ruang perlindungan dan lingkungan yang aman dari tindakan kekerasan seksual.

“Ketika dikatakan upaya dari kampus sendiri, kita di sini tidak bisa bohong bahwasanya setiap kampus pasti berupaya menjaga nama baiknya. Dan kita dari kampus terdengar terjadi tindakan asusila, maka ini akan jadi sorotan dari warganet, dari netizen sendiri, bahwa kampusnya berarti gagal menciptakan ruang perlindungan, bagaimana menciptakan ruang pendidikan yang aman dari tindakan seksual gitu,” ucapnya.

Meski demikian, Zakiah menegaskan penanganan kekerasan seksual tiap kampus tidak bisa disamaratakan. Ada kampus yang menindak tegas pelaku kekerasan seksual, tapi ada juga yang membiarkannya.

“Tapi kita nggak boleh kemudian semua kampus itu sama, kampus tidak mengakomodasi. Ada kemudian kampus-kampus yang menindak tegas, ada kampus-kampus yang menjaga citranya tadi ya selesai dengan cara kekeluargaan dan ada juga kasus-kasus yang dibiarkan sampai akhirnya lupa sendiri,” jelas Zakiah.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengaku pernah melihat sendiri kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Taufan menyebut ada beberapa sikap permisif yang menganggap lumrah sikap kekerasan seksual di lingkungan kampus.

“(Kekerasan seksual di kampus) sejak dulu, dari dosen terhadap mahasiswa, nggak usah kita tutup-tutupi itu terjadi, saya melihat sendiri,” kata Taufan dalam diskusi virtual bertajuk ‘Pro Kontra Permen PPKS’, Sabtu (13/11/2021).

“Tapi sulit diatasi karena tadi, sensitivitas kita soal pelecehan misalnya, ya, kecuali kekerasan, langsung semua sensitif. Perundungan itu kita nggak sensitif,” lanjutnya.

Taufan memberi contoh salah satu tindakan kekerasan seksual yang dianggap normal adalah membicarakan fisik mahasiswa. Padahal, hal tersebut tidak normal dan justru merendahkan martabat seseorang.

“Misalkan ada orang membicarakan bagian fisik mahasiswinya, kan itu dianggap sebagai hal yang normal ya, padahal itu nggak normal, itu perendahan martabat,” ujar Taufan.

Akibatnya, banyak mahasiswa yang mengeluhkan tindakan kekerasan seksual. Dia mengatakan kekerasan seksual bisa mengganggu psikologi dan konsentrasi dalam belajar.

“Banyak mahasiswa yang ngeluh kepada kita karena itu dianggap biasa dan normal. Sebetulnya katakanlah mengganggu psikologinya dan mengganggu kondisi belajarnya. Bukan saja dosen, tapi antarmahasiswa, senior,” terangnya.

Lebih lanjut, Taufan menyampaikan kekerasan seksual di lingkungan kampus kerap terjadi di momen perpeloncoan. Taufan mendesak agar setiap kampus berbenah.

“Dalam perpeloncoan sering terjadi, kita nggak usah nutup-nutupi bahwa kampus bukan hal yang steril dari kesalahan. Saya orang kampus 34 tahun, saya merasa kampus harus berani mengoreksi dirinya bahwa ada banyak kekeliruan yang harus kita benahi sebagai lembaga pendidikan bagi generasi kita ke depan,” imbuh Taufan.

Seperti diketahui, Permendikbud PPKS menuai pro dan kontra. Pasal yang menjadi kontroversi ada dalam Pasal 3, yang menjelaskan soal kekerasan seksual.

Pasal ini dianggap berpedoman pada konsep ‘consent’ atau persetujuan korban. Bagian ‘consent’ ini dianggap melegalkan zina. Salah satu pihak yang keberatan adalah PKS. Ketua PKS Mardani Ali Sera, melalui akun Twitternya, menuding aturan itu melegalkan kebebasan seks di kampus.

“Itu jelas sekali berisi “pelegalan” kebebasan sex. Kita anti kekerasan seks namun tidak mentolelir kebebasan sex #CabutPermendikbudristekNo30 Permendikbudristek ini berpotensi merusak norma kesusilaan,” kata Mardani, Rabu (10/11). (Tia/det.c)