Tragedi Jatuhnya Lion Air JT-610 dan Dugaan Dana CSR yang Ditilap ACT

Jam : 13:58 | oleh -430 Dilihat
ACT
ACT

Jakarta, ToeNTAS.com,- Dana bantuan bagi korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 diduga digelapkan Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Dugaan itu muncul usai Bareskrim Polri melakukan penyelidikan terkait penyalahgunaan dana dalam tubuh yayasan itu.

Dana bantuan itu disalurkan melalui ACT oleh Boeing, perusahaan pembuat pesawat Boeing 737 Max 8 yang digunakan Lion Air JT-610. Boeing kala itu memberikan mandat kepada ACT untuk mengelola dana corporate social responsibility (CSR) sebesar Rp 138 miliar yang merupakan kompensasi untuk korban jatuhnya Lior Air JT-610.

Tragedi jatuhnya Lion Air JT-610 terjadi pada 29 Oktober 2018 lalu. Pesawat dengan rute Jakarta-Pangkalpinang itu jatuh di Perairan dekat Tanjung, Karawang, Jawa Barat, usai sempat hilang kontak pada pukul 06.33 WIB setelah lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta pada pukul 06.22 WIB.

181 penumpang dan 8 awak pesawat menjadi korban dalam peristiwa tragis itu. Dari hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi atau KNKT, ada 9 faktor yang berkontribusi dalam peristiwa jatuhnya Lion Air JT-610.

Berikut 9 faktor tersebut:

1. Asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat pada saat proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX), meskipun sesuai dengan referensi yang ada ternyata tidak tepat

2. Mengacu asumsi yang telah dibuat atas reaksi pilot dan kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di cockpit, sensor tunggal yang diandalkan untuk MCAS dianggap cukup dan memenuhi ketentuan sertifikasi

3. Desain MCAS yang mengandalkan satu sensor rentan terhadap kesalahan

4. Pilot mengalami kesulitan melakukan respon yang tepat terhadap pergerakan MCAS yang tidak seharusnya karena tidak ada petunjuk dala buku panduan dan pelatihan

5. Indikator AOA DISAGREE tidak tersedia di pesawat Boeing 737-8 (MAX) PK-LQP, berakibat informasi ini tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan sehingga perbedaan ini tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengidentifikasi kerusakan AOA sensor

6. AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang tidak terdeteksi pada saat perbaikan sebelumnya

7. Investigasi tidak dapat menentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan dilakukan dengan benar, sehingga kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi

8. Informasi mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-formal Runaway Stabilizer pada penerbangan sebelumnya tidak tercatat pada buku catatan penerbangan dan perawatan pesawat mengakibatkan baik pilot maupun teknisi tidak dapat mengambil tindakan yang tepat

9. Beberapa peringatan, berulangnya aktifasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC tidak terkelola dengan efektif. Hal ini diakibatkan oleh situasi-kondisi yang sulit dan kemampuan mengendalikan pesawat, pelaksanaan prosedur non-normal dan komunikasi antar pilot, berdampak pada ketidakefektifan koordinasi antar pilot dan pengelolaan beban kerja. Kondisi ini telah teridentifikasi pada saat pelatihan dan muncul kembali pada penerbangan ini.

Korban Tuntut Boeing
Keluarga korban Lion Air JT-610 kemudian mengajukan gugatan kepada Boeing. Mereka menuding pabrikan pesawat asal Amerika Serikat (AS) itu gagal menginformasikan kepada pilot dan maskapai mengenai fitur terbaru pesawat Boeing 737 Max.

Pada 7 Januari 2021, Departemen Kehakiman AS merilis pernyataan mengenai penyelesaian sebesar USD 2,5 miliar dan denda yang harus dibayarkan oleh Boeing terkait dengan tuduhan kriminal konspirasi dan penipuan terkait keterlibatannya dengan Administrasi Penerbangan Federal AS.

Boeing diwajibkan membayar denda USD 243,6 juta, kompensasi kepada maskapai pelanggan Boeing sebesar USD 1,77 miliar dan kompensasi kepada keluarga korban USD 500 juta.

Sebagai informasi, ada dua pesawat Boeing 737 Max yang jatuh dalam rentang 5 bulan, yakni Lion Air dan Ethiopian Airlines. Kompensasi tersebut diberikan Boeing kepada korban kecelakaan kedua pesawat tersebut.

Untuk korban kecelakaan Lion Air JT-610, Boeing menggelontorkan dana ganti rugi sebesar US$ 50 juta, atau sekitar Rp 700 miliar. Per orangnya akan diberikan US$ 144.500 atau sekitar Rp 2,06 miliar. Selain itu juga ada bantuan non tunai berupa CSR. Hal itu disampaikan Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Polana B Pramesti pada November 2019 lalu.

ACT disebut hubungi keluarga korban Lion Air JT-610. Simak di halaman selanjutnya.

ACT Hubungi Keluarga Korban
ACT disebut menghubungi para ahli waris korban. Mereka disebut meminta keluarga korban untuk merekomendasikan kepada Boeing agar penggunaan dana sosial korban kecelakaan Lion Air JT-610 dikelola lembaga filantropi itu.

“Pasca kejadian kecelakaan tersebut, para ahli waris korban dihubungi oleh pihak yang mengaku dari yayasan ACT meminta untuk memberikan rekomendasi kepada pihak Boeing untuk penggunaan dana CSR tersebut dikelola oleh pihak yayasan ACT,” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan dalam keterangannya, Sabtu (9/7).

Boeing pun sepakat. Total dana CSR sebesar Rp 138 miliar kemudian disalurkan melalui ACT. Dana itu diperuntukkan untuk membangun fasilitas pendidikan sesuai dengan rekomendasi dari ahli waris.

Dugaan Penggelapan Dana
Namun, dari hasil investigasi Polri, ada dugaan penggelapan dana CSR tersebut. Pihak ACT juga disebut tidak pernah pernah melibatkan ahli waris dalam penyusunan hingga penggunaan dana CSR yang disalurkan pihak Boeing.

Untuk diketahui, penyelidikan terhadap dugaan penyalahgunaan buntut dari munculnya tagar #AksiCepatTilep dan #JanganPercayaACT di media sosial. Tagar-tagar berkaitan dengan ACT ini bermunculan setelah majalah Tempo mengeluarkan laporan utama berjudul ‘Kantong Bocor Dana Umat’. Bareskrim kemudian turun tangan melakukan penyelidikan terkait tudingan adanya penyalahgunaan dana umat oleh ACT itu.

“Pada pelaksanaan penyaluran dana sosial/CSR tersebut para ahli waris tidak diikutsertakan dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan penggunaan dana sosial/CSR tersebut dan pihak yayasan ACT tidak memberi tahu kepada pihak ahli waris terhadap besaran dana CSR yang mereka dapatkan dari pihak Boeing serta penggunaan dana CSR tersebut,” ujar Ramadhan.

Lebih lanjut Ramadhan mengatakan kasus ini masih dalam proses penyelidikan. Namun, dari temuan penyidik saat ini, ada dugaan ACT menggunakan dana bantuan dari Boeing untuk kepentingan pribadi, bukan bagi ahli waris korban.

“Diduga pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) tidak merealisasikan seluruh dana sosial/CSR yang diperoleh dari pihak Boeing, melainkan sebagian dana sosial/CSR tersebut dimanfaatkan untuk pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina, serta staff pada Yayasan ACT dan juga digunakan untuk mendukung fasilitas serta kegiatan pribadi Ketua Pengurus/presiden dan Wakil Ketua Pengurus,” tuturnya.

Mantan Presiden ACT bantah tudingan penyimpangan dana dari Boeing. Simak di halaman selanjutnya.

Mantan Presiden ACT Bantah Penyimpangan
Mantan Presiden ACT Ahyudin membantah tudingan adanya penyelewengan dana kerja sama antara ACT dan Boeing. “Insya Allah, saya pastikan tak ada penyimpangan dana kerja sama ACT dengan Boeing,” kata Ahyudin kepada wartawan, Sabtu (9/7).

“Tenggat waktu kerjasama implementasi program kalau tidak salah masih sampai akhir Juli 2022, bahkan masih sangat mungkin bisa dinegosiasikan untuk perpanjangan waktu,” tambahnya.

Ahyudin mengatakan hingga terakhir tugasnya di ACT pada Januari 2022 lalu, realisasi program kerja sama dengan Boeing sudah mencapai lebih dari 70 persen. Jadi, kata dia, sisanya sekitar 30 persen sejatinya bisa selesai dalam waktu 6 bulan di bawah kepemimpinan baru ACT saat ini.

“Saya sejak 11 Januari 2022 saya sudah tak lagi di ACT. Jadi saya tak begitu tahu lagi bagaimana progress program ini. Mestinya waktu 6 bulan Januari sampai dengan Juli 2022 adalah waktu yang lebih dari cukup untuk tuntaskan implementasi program ini,” ucapnya.

Dia menyebut kendala teknis implementasi program itu adalah faktor pandemi COVID-19 yang menyulitkan mobilitas tim implementasi. Ahyudin menegaskan kembali bahwa ia tidak melakukan penyimpangan dana bantuan untuk korban kecelakaan Lion Air JT-610 pada 2018.

“Sekali lagi saya yakinkan tak ada penyimpangan. ACT berpengalaman melakukan ribuan kemitraan program selama ini. Saya yakin sahabat saya semua yang memimpin ACT saat ini mampu mengatasinya dengan baik. Harus dipahami bahwa aset yang dimiliki ACT jauh lebih besar daripada sisa anggaran yang belum direalisasikan,” ujarnya.

Keluarga Korban Kecewa
Keluarga korban pesawat Lion Air JT-610 kecewa terhadap petinggi ACT atas dugaan penggelapan dana ahli waris. Kekecewaan itu diungkapkan oleh Vini Wulandari, adik dari kopilot Lion Air JT-610 bernama Harvino. Vini mengatakan seharusnya pihak ACT memberikan laporan kerja sebelum dana diterima dari pihak Boeing.

“Mereka juga belum memberikan program kerja atas dana yang sudah diberikan. Harusnya sebelum dana diterima, mereka harus membuat program untuk disalurkan atas dana tersebut,” kata Vini saat dihubungi, Minggu (10/7).

“Tetapi sampai akhirnya ketahuan dana digelapkan. Mereka pakai uang itu untuk pribadi. Tentu dari pihak keluarga korban amat sangat kecewa,” lanjutnya.

Vini menjelaskan saat itu pihak Boeing memberikan sejumlah santunan namun harus dikelola oleh yayasan yang nantinya uang tersebut bisa dipergunakan oleh keluarga korban. Hingga akhirnya salah satu yayasan yang dipilih adalah ACT.

“Jadi uang itu dikirim dari Boeing karena kita nggak bisa nerima perorangan bahkan disalurin ke yayasan gitu. Jadi kita sifatnya bisa mengajukan dan itu yayasan yang dikelola oleh keluarga korban sama Bu Yani (salah satu keluarga korban) itu rutin setiap setahun dua kali dibagiin ke keluarga korban. Uang itu harus kembali ke keluarga korban,” ujarnya.

Vini menyampaikan dana tersebut bisa dipakai untuk kegiatan sosial seperti penanganan bantuan bencana alam. Dia menyebut dana yang diterima ACT untuk dikelola saat itu sebesar Rp 138 miliar.

“Maksudnya supaya bisa berbagi kalau ada gempa lah atau mungkin dia mau bikin program kerja untuk anak-anak di desa tertinggal yang sifatnya sosial gitu, tapi karena dari awal kan udah ditanyain sebelum uang itu ditransfer ke rekening yayasan masing-masing mana program kerjanya. Itukan Rp 138 miliar totalnya itu. Jadi nggak ada yang harus dikembalikan ke keluarga korban, kan keluarga korban udah dapat kompensasi yang lebih besar. Jadi murni untuk sosial yang diberikan kepada ACT untuk dikelola,” ujarnya.

“Dan uang itu juga bisa dipakai untuk keluarga korban yang memang ada kebutuhan untuk anak sekolah atau apapun itu yang berkaitan dengan keperluan keluarga korban JT-610. Dengan cara kita bisa mengajukan ke yayasan tersebut dan yayasan tersebut akan mengeluarkan uang untuk keluarga,” sambungnya. (d.c/Erna)

No More Posts Available.

No more pages to load.