Jakarta, ToeNTAS.com,- Sejumlah pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) yang pernah bertugas pada Kementerian Luar Negeri (Kemlu), dan pernah ditugaskan di berbagai perwakilan di luar negeri, melayangkan protes. Mereka memprotes hak gaji pokok mereka yang belum diterima dari Kemlu.
Forum Lintas Angkatan Pensiunan Kemlu (FLAPK), yang beranggotakan 200 orang, ini menyatakan berhak mendapatkan gaji dalam negeri yang jumlahnya jauh lebih banyak.
“Selama ditempatkan/ditugaskan di perwakilan RI di luar negeri, kami menerima tunjangan penghidupan luar negeri (TPLN),” kata Ketua FLAPK Kusdiana dalam keterangan tertulisnya dilihat pada Selasa (1/8/2023).
“Sedangkan hak gaji pokoknya di dalam negeri yang menurut Undang-Undang Kepegawaian seharusnya tetap dibayarkan. Namun oleh Kemlu justru ditahan alias tidak dibayarkan,,” samBung dia.
Kebijakan tidak membayar hak gaji dalam negeri didasarkan pada Surat Edaran Sekjen Kemlu Nomor: 015690 tertanggal 16 Oktober 1950, Perihal: Keuangan Perwakilan Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, yang dalam pertimbangannya mengatakan ‘menunggu keputusan yang definitif dan menyimpang dari peraturan S.P./5/K.L, maka berhubung dengan sangat terbatasnya persediaan deviezen’, Jo III.c ‘gaji di Indonesia tidak diberikan’.
“Namun setelah keluar keputusan yang definitif, yaitu diundangkannya Undang-Undang No 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kepegawaian, Undang-Undang No 8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian, Undang-Undang No 43 Tahun 1999 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN, hak gaji pokok kami tetap tidak dibayarkan oleh Kemlu,” ujar Kusdiana.
Di lain pihak, PNS/ASN yang berasal dari instansi teknis atau pejabat atase teknis dan stafnya yang ditugaskan di perwakilan RI di luar negeri, selain menerima TPLN, juga tetap menerima hak atas gaji pokoknya di dalam negeri. Seluruh ASN diatur oleh undang-undang sama, namun kenyataannya hanya pejabat Kemlu yang sedang ditugaskan di luar negeri, hak gaji pokoknya di dalam negeri tidak dibayar oleh Kemlu.
“Sebagai gambaran berapa lama hak gaji pokok di dalam negeri kami tidak dibayar, sangat bervariasi. Dapat dicontohkan salah seorang anggota FLAPK pernah mendapat tugas di KJRI San Francisco (54 bulan), KBRI Seoul (53 bulan), PTRI Geneve (49 bulan), KJRI Hongkong (54 bulan), total penugasan di luar negeri 210 bulan atau sekitar 17.5 tahun gaji pokoknya dalam negeri tidak dibayar,” ucapnya.
Kemlu disebut pernah mencoba menyelesaikan masalah hak gaji dengan mengeluarkan kebijakan baru yang memberikan hak gaji PNS/ASN bagi pegawai yang berangkat/ditugaskan ke perwakilan RI di luar negeri terhitung mulai tanggal 1 Januari 2013. Namun kebijakan tersebut tidak menyelesaikan masalah karena tidak berlaku menyeluruh, sehingga terlihat diskriminatif terhadap para PNS/ASN Kemlu yang pernah ditempatkan/ditugaskan di perwakilan luar negeri pada tahun-tahun sebelum 1 Januari 2013 yang umumnya sudah pensiun tetap tidak menerima hak gaji pokoknya dalam negeri yang menjadi haknya.
“Sejak tahun 2018, kami telah berupaya secara perorangan maupun berkelompok melakukan komunikasi secara tertulis kepada Kementerian Luar Negeri, bahkan kami pernah berdiskusi dengan Sekretaris Jenderal Kemlu, namun hasilnya tidak sesuai harapan. Surat surat yang kirimkan bahkan tidak pernah dibalas,”
Selanjutnya FLAPK meminta bantuan penasehat hukum untuk menyelesaikan permasalahan yang diperjuangkan. Setelah dilakukan somasi oleh penasehat hukum, pihak Kemlu memberikan tanggapan tertulis yang pada intinya Kemlu beranggapan bahwa masalah gaji pokok di dalam negeri yang ditahan/tidak dibayarkan selama ditugaskan di luar negeri, dianggap ‘telah kadaluarsa’ dengan merujuk kepada PP No 50 tahun 2018, Pasal 76A.
“Kami berpendapat bahwa Kementerian Luar Negeri keliru menafsirkan Pasal 76A PP No 50 tahun 2018, karena pasal tersebut adalah mengenai tagihan dari ‘pihak ketiga’ kepada negara mengenai pengadaan barang dan jasa. Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (vide butir 4), bahwa gaji adalah hak pegawai yang harus dibayarkan secara otomatis oleh pemerintah kepada setiap PNS/ASN pada setiap awal bulan tanpa perlu ditagih,” sebutnya.
FLAPK mengaku pernah mengirim surat kepada Presiden Jokowi sebanyak dua kali, demikian halnya penasehat hukum mereka untuk menyampaikan masalah ini. Namun sayang surat surat tersebut tidak pernah mendapat tanggapan. FLAPK yakin surat surat tersebut tidak sampai kepada Presiden Jokowi.
FLAPK juga mengaku pernah mengadukan masalah ini kepada Menko Polhukam. Pada mulanya mendapat tanggapan positif. FLAPK mengaku pernah diundang rapat untuk menggali permasalahan lebih detail. Namun, sayang seiring banyaknya kasus yang ditemukan dan ditangani oleh Menko Polhukam, proses permasalahan tersebut berhenti.
“Salah satu tugas yang dibebankan kepada kami saat bertugas di luar negeri adalah melindungi kepentingan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, termasuk hak gajinya. Sehingga menjadi ironis ketika Kementerian Luar Negeri justru ‘merampas’ hak gaji pokok pegawainya dan tidak bermaksud menyelesaikannya,” ujarnya.
Selanjutnya, FLAPK mengatakan Mahkamah Konstitusi berpendapat mengenai upah/gaji: Bahwa upah dan segala pembayaran yang timbul akibat hubungan kerja adalah merupakan hak milik pribadi dan tidak boleh diambil alih secara sewenang wenang oleh siapapun, baik perseorangan maupun melalui ketentuan perundang undangan.
Dengan tidak dibayarkannya hak gaji pokok pejabat Kemlu yang sedang melaksanakan tugas, FLAPK menilai merupakan perampasan hak milik yang melanggar Undang-Undang Republik Indonesia No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 36 (2).
Meskipun FLAPK hanya beranggotakan 200 orang, namun pensiunan dan pegawai Kemlu yang berhak atas gaji pokok yang tidak dibayarkan oleh Kemlu jauh lebih berlipat banyaknya. Oleh karena itu, bagi mereka perjuangan untuk memperoleh hak gaji pokok yang tidak dibayarkan oleh Kemlu adalah merupakan perjuangan untuk memperoleh keadilan dan kesamaan hak di dalam hukum.
“Kami berharap Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. H. Joko Widodo dapat memberikan perhatian khusus, dan memberikan jalan keluarnya sesuai dengan kewenangan yang melekat pada Presiden selaku lembaga eksekutif tertinggi, pemegang kekuasaan pemerintahan yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN, guna memerintahkan kepada menteri menyelesaikan dengan tuntas perihal pokok surat kami tersebut di atas, demi pemerintahan yang bersih dan transparan menuju cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” imbuhnya. (d.c/Endah)