Jakarta, ToeNTAS.com,- Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) lagi-lagi membawa nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam persidangan atas kasus yang menjeratnya. Kali ini, SYL menunjukkan potongan video pidato Jokowi dalam pembacaan nota pembelaan atau pledoi.
Video itu disajikan saat SYL membeberkan capaian kinerjanya sebagai Menteri Pertanian Era Jokowi. Potongan video yang ditampilkan salah satunya saat Jokowi memberikan arahan dalam Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian Tahun 2021 silam.
Jokowi disebut membenarkan sektor pertanian menjadi sentral di masa pandemi COVID-19. Jokowi juga menggarisbawahi sembilan isu strategis dalam pembangunan pertanian, antara lain menyorot peringatan Food Agricultur Organization (FAO) tentan ancaman krisis pangan hingga pentingnya pengembangan lumbung pangan atau food estate.
“Presiden Republik Indonesia Bapak H. Joko Widodo juga dalam pidatonya pada pembukaan sensus pertanian pada tahun 2023 mengingatkan kemungkinan krisis pangan besar yang diakibatkan cuaca ekstrem dan perang di Eropa yang terus bergejolak. Ancamannya adalah 345 juta orang di dunia terancam kekurangan pangan dan kelaparan,” kata SYL dalam persidangan, Jumat (5/7/2024).
“Yang Mulia Majelis Hakim, perkenankan menunjukkan video Pidato Presiden tersebut,” kata SYL melanjutkan.
SYL lantas membeberkan capaiannya selama menjabat sebagai Mentan, antara lain peningkatan nilai dan pertumbuhan PDB sektor pertanian, nilai tukar petani yang meningkat, meningkatnya nilai ekspor pertanian, hingga bertambahnya penyerapan lapangan kerja di sektor pertanian.
“Adapun pencapaian yang dibahas di atas sangat dipengaruhi oleh keadaan Pandemi COVID-19, serta kondisi global dunia antara lain perang dagang, perubahan iklim dan konflik antarnegara. Tentunya dibutuhkan usaha dan kerja keras yang terarah, fokus dan lebih mengutamakan kesejahteraan dan keselamatan rakyat, bangsa dan negara, utamanya memberi kepastian terhadap daya tahan dan jaminan kepada rakyat dalam kebutuhan konsumsi hidup mereka,” ucapnya.
SYL: Saya Ketua APPSI, Pak Presiden Sebelum Presiden di Bawah Saya
Dalam persidangan sebelumnya, SYL mengatakan dirinya pernah menjadi ketua asosiasi gubernur. Dia menyebut Presiden Jokowi pernah berada di bawah kepemimpinannya saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Hal itu disampaikan SYL saat diperiksa sebagai saksi mahkota dalam sidang lanjutan kasus gratifikasi dan pemerasan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (24/6/2024). Mulanya, ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh menanyakan awal mula SYL diangkat sebagai Mentan.
“Singkat cerita kemudian saudara terpilih oleh Presiden Jokowi Widodo periode kedua, saudara diangkat sebagai Menteri Pertanian. Benar?” tanya hakim.
“Betul, Yang Mulia,” jawab SYL.
SYL mengatakan pengangkatan dirinya sebagai Mentan dilakukan secara profesional. Dia menuturkan pernah menjadi Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), di mana Jokowi merupakan salah satu anggotanya.
“Diangkat melalui jalur partai politik ya atau karena dari partai politik atau dari mana?” tanya hakim.
“Secara profesional, saya birokrat, saya Ketua Asosiasi Gubernur se-Indonesia dua periode, dan Pak Jokowi sebelum jadi Presiden adalah Gubernur DKI di bawah saya, dan secara profesional saya kira itu menjadi bagian-bagian dari referensi saya dan kedua tentu adalah dari partai,” jawab SYL.
Sebagai informasi, SYL menjabat sebagai Ketua Umum APPSI pada 2011-2018. Sementara, Jokowi merupakan Gubernur DKI Jakarta pada 2012-2014.
Hakim lalu menanyakan jabatan SYL di Partai NasDem saat diusulkan sebagai Mentan. SYL mengatakan dirinya merupakan salah satu Wakil Ketua Umum (Waketum) di NasDem.
“Saudara di Partai NasDem punya jabatan?” tanya hakim.
“Pernah,” jawab SYL.
“Nggak, pada saat saudara diusul sebagai menteri?” tanya hakim.
“Saya salah satu Wakil Ketua,” jawab SYL.
Pernah Bawa ‘Perintah Presiden’ di Sidang
SYL bahkan pernah membawa-bawa ‘perintah presiden’ dalam persidangan kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi yang menjeratnya.
SYL membawa-bawa ‘perintah Presiden’ saat bertanya ke ahli hukum pidana dari Universitas Pancasila, Prof Agus Surono, dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (12/6/2024). SYL mengawali pertanyaannya ke Agus terkait mens rea atau sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana suatu perbuatan dalam hukum pidana.
“Saudara ahli, delik itu kan ada perbuatan dan ada mens rea. Kalau salah satunya tidak ada masihkah bisa menjadi delik atau suatu yang salah satunya nggak ada. Katakanlah perbuatannya ada tapi tidak ada niat jahat di balik itu, bisa kah menjadi perbuatan hukum?” tanya SYL.
“Mohon izin, Yang Mulia, jadi di dalam satu perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan atau dimintai pertanggungjawaban pidana itu memang pertama harus ada mens rea dan kedua harus adactus reus,” jawab Agus yang dihadirkan sebagai saksi meringankan pihak SYL.
“Cuman memang di dalam peristiwa hukum konkret kita sulit untuk menilai mens rea atau niat jahat dari seseorang itu. Nah, bagaimana caranya? Caranya adalah dapat dinilai atau dapat dilihat dari perbuatan konkretnya. Apa perbuatan konkretnya? Yang tadi, actus reus tadi yang sifatnya adalah nyata,” imbuh Agus.
SYL lalu menyinggung kerawanan pangan dunia hingga perintah extraordinary atau diskresi oleh menteri yang diberikan presiden. Dia mengatakan diskresi itu terkait dengan el nino dan COVID-19,
“Izin, Yang Mulia, yang kedua. Kalau negara, bangsa, dalam situasi darurat warning dunia PBB mengatakan ada kerawanan pangan dunia. Kemudian, ada perintah extraordinary oleh kabinet dan presiden atau atas nama negara untuk mengambil sebuah langkah, yang extraordinary atau diskresi berdasarkan UU No 2 Tahun 2020 dan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 kalau saya tidak salah, apakah itu bagian yang ahli tadi sebutkan? Alasan untuk melakukan langkah pembenaran apabila terjadi diskresi. Itu apakah itu yang ahli maksud?” tanya SYL.
“Ada el nino ada COVID supaya UU Nomor 2 Tahun 2020 itu, minta maaf,” tambah SYL.
Agus mengatakan sifat melawan hukum dari suatu tindakan dapat hilang jika memenuhi sejumlah asas seperti asas kepentingan umum, asas kepatutan hingga asas keadilan. SYL pun kembali mengungkit soal diskresi untuk kepentingan pangan masyarakat.
“Baik, mohon izin, Yang Mulia. Jadi saya ingin menyampaikan bahwa tadi ada menjelaskan sifat melawan hukum materiilnya itu menjadi hilang karena ada satu hal-hal yang tidak terpenuhi, di dalam hal-hal yang tidak terpenuhi itu berkaitan dengan asas-asas tadi bapak. Asas keadilan, asas kepentingan umum, asas kepatutan dan seterusnya tadi. Nah, yang paling penting yang menjadi koridor adalah apakah dalam pemenuhan hal-hal yang tadi saya sampaikan tadi untuk kepentingan umum dan seterusnya tadi apakah melanggar norma aturan yang ada ataukah tidak. Kalau memang ternyata itu terjadi, ya maka sifat melawan hukumnya bisa hilang karena terpenuhinya asas-asas sebagaimana yang tadi saya sampaikan. Demikian, Yang Mulia,” kata Prof Agus.
“Katakanlah seperti itu dalam pendekatan frame akademik pidana. Tapi pidana kan tidak berdiri sendiri gitu, nah sekarang untuk kepentingan 287 juta orang makanan yang terancam, terus ada diskresi yang diperintahkan dan itu terjadi, apakah itu bisa diabaikan dalam pendekatan pidana saja? Atau tetap harus dijadikan bagian-bagian yang harus tesis antitesa sintesa dari aturan hukum yang ada?” tanya SYL.
“Mohon izin, Yang Mulia, kembali ke konsep tadi sifat melawan hukumnya tadi bapak. Jadi sifat melawan hukumnya tadi menjadi hilang manakala terpenuhi asas-asas yang tadi saya sampaikan, asas yang paling utama adalah kepentingan umum, asas keadilan, dan seterusnya, dan seterusnya. Nah keadilan apakah keadilan bagian sekelompok? tidak. Keadilan tentu bagi sebagian besar masyarakat itu juga harus terpenuhi rasa keadilannya. Demikian, Yang Mulia,” jawab Agus.
Sempat Minta Jokowi Jadi Saksi Meringankan
SYL pernah mengajukan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla menjadi saksi meringankan (saksi a de charge). Hal tersebut untuk membuktikan bahwa tak ada niat dirinya berperilaku koruptif.
SYL awalnya mengatakan terpilihnya sebagai Gubernur Sulawesi Selatan dua periode menunjukkan tingginya tingkat kepercayaan dan kepuasan masyarakat terhadap kinerja dan integritasnya. Namun ia mengaku heran, mengapa saat dirinya menjadi menteri dituding melakukan korupsi.
“Karena itulah, maka saya memberanikan diri pernah mengajukan permohonan agar Presiden RI Bapak Joko Widodo dan mantan Wakil Presiden RI Bapak Jusuf Kalla berkenan menjadi saksi a de charge saya. Mengapa ketika saya menjabat sebagai menteri, terhadap saya disangkakan dan didakwakan melakukan perbuatan korupsi?” kata SYL saat membacakan pleidoi saat sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (5/7/2024).
SYL memandang, jika dirinya hendak korupsi, semestinya sudah dilakukannya sedari menjadi kepala daerah puluhan tahun lalu. Dengan begitu, dirinya akan menjadi seorang birokrat kaya raya.
“Apabila saya memang berniat melakukan itu, saya pasti sudah melakukannya sejak dari dulu menjabat di daerah dan, apabila hal tersebut terjadi, dengan rentang waktu karier saya sebagai birokrat yang panjang, saya pasti akan sudah menjadi salah satu orang yang sangat punya kekayaan,” ujarnya.
SYL kemudian mengaku selalu memastikan betul kepada bawahannya honor maupun uang yang diberikan kepadanya sudah sesuai ketentuan.
“Adapun penerimaan yang saya dapatkan selama ini adalah honor dan uang perjalanan dinas, yang selalu saya tanyakan kepada Saudara Kasdi dan Panji, dan keduanya selalu menjawab bahwa biaya tersebut semua sudah sesuai aturan dan kata-kata khas yang selalu saya ingat, ‘Ini sudah dipertanggungjawabkan, Bapak’, ‘Ini sudah menjadi hak menteri, Pak’.Lillahita’ala,Rasulullah, tidak jadi sembahyang saya kalau tidak sebut itu. Setiap saya hati-hati uang ini,” ujarnya. (d.c/Aji)