Bekasi Ngebet Gabung Jakarta, Ada apa?

Jam : 23:57 | oleh -100 Dilihat

Jakarta, ToeNTAS.com,- Saudara jauh Jakarta dan tergiur dana ibu kota Pepen berujar, secara kultur dan historis, Bekasi punya kedekatan dengan Jakarta ketimbang Jawa Barat, khususnya Bogor. Ia mencontohkan, Bekasi meskipun bagian dari Jawa Barat, mayoritas penduduknya beretnis Betawi, bukan Sunda. Sudah begitu, secara administratif Bekasi juga banyak berhubungan dengan Jakarta.

Beberapa wilayah pernah “saling dioper” antara Bekasi dan Jakarta. Sejarawan Bekasi, Ali Anwar membenarkan hal tersebut. Menurut dia, tak perlu menarik jauh hingga era kerajaan untuk mengetahui kedekatan Bekasi dan Jakarta.  Pada Era Kemerdekaan pun kekerabatan kedua kota ini masih tampak.

“Pada era revolusi (1945-1949), batas antara Belanda dengan RI itu di Kali Cakung. Cakung, waktu itu, masuk wilayah Bekasi. Jadi, tentara Belanda berpusat di Jakarta, sementara tentara republik di Bekasi, sampai Cikampek dan Karawang, tetapi front terdepan melawan Belanda ada di Bekasi, tepatnya di Cakung itu,” ujar Ali.

Kala itu, Bekasi merupakan kewedanaan dari Kabupaten Jatinegara, Keresidenan Jakarta, Provinsi Jawa Barat. Kewedanaan Bekasi membawahi Kecamatan Bekasi, Cibitung, dan Cilincing. Buku Sejarah Singkat Kabupaten Bekasi (2019) tulisan Ali mencatat bahwa setelah serangkaian perlawanan terhadap agresi militer Belanda hingga 1949, Indonesia diwacanakan jadi negara federal berupa RIS (Republik Indonesai Serikat). Muncul wacana pembentukan Negara Federal Jakarta dan Negara Pasundan.

“Tokoh Kewedanaan Bekasi dan Cikarang pada 1950 bertekad bergabung ke dalam NKRI. Untuk mewujudkan tekad tersebut, para tokoh masyarakat Bekasi, seperti KH Noer Alie dan  Madnuin Hasibuan membentuk Panitia Amanat Rakyat. Mereka mengumpulkan sekitar 25 ribu warga Kewedanaan Bekasi dan Kewedanaan Cikarang di Alun-alun Bekasi  pada 17 Januari 1950,” ucap Ali.

Dalam apel akbar tersebut, dua butir tuntutan warga Kewedanaan Bekasi dan Cikarang adalah mengembalikan seluruh Jawa Barat pada NKRI serta pengubahan nama Kabupaten Jatinegara menjadi Kabupaten Bekasi. RIS akhirnya bubar, kembali jadi NKRI pada 19 Mei 1950. Bekasi pun dinobatkan jadi kabupaten secara definitif pada 15 Agustus 1950.

Secara administratif, Kabupaten Bekasi yang sebelumnya berada di Kota Praja Jakarta Raya dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Barat. “Tapi, saat mulai menjalankan roda pemerintahan, Pemerintah Kabupaten Bekasi menghadapi ganjalan serius. Rupanya Jakarta tidak mau melepas Kewedanaan Kebayoran dan Kewedanaan Cawang dari Kabupaten Bekasi,” papar Ali.

“Di sisi lain, wilayah Cakung sendiri baru kembali masuk ke Jakarta tahun 1976,” ujar Ali. Selain kedekatan kultur dan sejarah, APBD DKI Jakarta yang mencapai puluhan triliun tiap tahun jelas jadi salah satu hal yang menggiurkan bagi Bekasi.

Pembangunan Kota Patriot itu dianggap akan makin cepat andai bergabung dengan Jakarta. Hal tersebut diakui oleh Wakil Wali Kota Bekasi Tri Adhianto. Ia menyatakan, APBD Kota Bekasi hanya sekitar Rp 6-7 triliun. Menurut dia, butuh dana sekitar Rp 12-15 triliun setahun untuk membangun Kota Bekasi secara optimal. “Karena DKI kan uangnya Rp 86 triliun, enggak habis-habis APBD-nya. Kalau kami balik lagi (ke Jakarta), harapannya itu tadi. Akan ada tambahan secara finansial,” ujar Tri, Jumat (16/8/2019).

Mayoritas warga setuju, pemerintah pusat menolak Pepen sesumbar bahwa mayoritas warganya akan setuju dengan wacana yang ia apungkan. “Kalau dijajak pendapat, pasti 60, 70, 80 persenlah (warga Bekasi yang setuju bergabung dengan DKI), karena DKI kan punya support yang luar biasa,” kata dia. Ucapan Pepen didukung Lembaga survei Median pada Oktober 2019 yang merilis hasil jajak pendapat warga Bekasi dan Jakarta mengenai wacana penggabungan kedua wilayah itu dilakukan pada 21 September 2019 sampai 5 Oktober 2019.

Sebanyak 500 warga Bekasi dan 500 warga Jakarta jadi responden dengan metode penelitian multistage random sampling, dengan margin of error plus minus 4,3 persen, pada tingkat kepercayaan 95 persen. Direktur Eksekutif Median Rico Marbun memaparkan, 60,6 persen warga Kota Bekasi setuju jika Kota Bekasi bergabung dengan DKI Jakarta. Ada lima alasan utama yang melatarbelakazwarga Kota Bekasi setuju dengan wacana penggabungan ke Jakarta.

“Alasan terbesar dari warga Kota Bekasi bergabung dengan DKI Jakarta berdasarkan survei, sebanyak 14,4 persen menganggap lebih dekat dengan wilayah DKI Jakarta daripada Bandung,” kata dia.  “Lalu, 7,8 persen menganggap (Bekasi) akan lebih maju dan berkembang; 7,8 persen setuju dengan usulan Pemkot Bekasi bergabung dengan DKI Jakarta; 5,8 persen menganggap lebih strategis dengan DKI Jakarta; 5,8 persen ingin mengatasi pengangguran,” ucap Rico, Jumat (18/10/2019). Menariknya, 70,4 persen dari warga Jakarta yang jadi responden Median turut menyetujui wacana itu.

Angka ini lebih besar daripada tingkat persetujuan warga Bekasi sendiri. Mayoritas warga Jakarta yang setuju terhadap wacana ini ingin agar Ibu Kota lebih luas (12,6 persen), lalu, masing-masing 3,4 persen, warga Jakarta berharap agar Bekasi lebih maju ketika bergabung, pemasukan Pemprov DKI meningkat, dan meningkatnya peluang saling menguntungkan. Mereka juga beranggapan bahwa bergabungnya Bekasi akan menambah lapangan kerja, menggenjot perekonomian, mempermudah akses perumahan, dan memperbaiki angkutan umum. Kebanyakan warga Jakarta juga sepakat bahwa akses Jakarta-Bekasi dan penanganan sampah akan membaik, serta mempermudah perizinan dan administrasi.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sendiri mengaku tak ambil pusing dengan wacana ini, karena kewenangan soal ini ada di pemerintah pusat. Namun, harapan warga Jakarta dan Bekasi bertepuk sebelah tangan. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan, pemerintah sudah memoratorium pemekaran dan penggabungan wilayah sejak 2014. “Artinya tidak ada pemekaran dan tidak ada penggabungan daerah, sampai batas waktu yang tidak ditentukan,” ujar Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Bahtiar di kantornya, Rabu (21/8/2019).

“Sebagai ide dan aspirasi masyarakat, gagasan, enggak dilarang. Orang berpendapat kan. Tetapi posisi pemerintah hari ini untuk pemekaran daerah maupun penggabungan daerah itu moratorium,” kata dia. Bahtiar mengatakan, butuh dana besar untuk membentuk daerah otonom. Pemerintah butuh dana besar untuk mengabulkan 315 daerah yang telah mengajukan pembentukan daerah otonom baru pada 2014. “Satu daerah persiapan otonomi itu kita paling tidak membutuhkan uang Rp 300 miliar sampai Rp 500 miliar per tahun,” ujar Bahtiar. (kom.c/F)