Krisis Bikin Lebanon Bak ‘Neraka’, Beli Pembalut Bisa Rp 300 Ribu

Jam : 09:32 | oleh -145 Dilihat
foto
foto

Jakarta –

Lebanon sedang mengalami krisis ekonomi sangat parah. Hal itu membuat berbagai kebutuhan masyarakat mengalami kelangkaan dan kenaikan harga, termasuk pembalut.

Dilansir dari Global Times, Jumat (9/7/2021), harga pembalut di Lebanon yang sebagian besar impor mengalami kenaikan hingga 500% sejak dimulainya krisis ekonomi yang disebut Bank Dunia sebagai salah satu yang terburuk di dunia sejak 1850-an.

Pada 2019, satu paket pembalut dibanderol 3.000-4.000 pound Lebanon atau sekitar Rp 28.860 hingga Rp 38.480 (kurs Rp 9,62). Kini, harga pembalut yang sama sudah mencapai 13.000 pound atau sekitar Rp 125.000, bahkan dilaporkan ada yang dibanderol 32.000 pound (Rp 307.000).

Dengan melonjaknya harga pembalut di Lebanon, perempuan bernama Sherine tidak mampu lagi beli pembalut. Jadi setiap bulan dia terpaksa membuatnya sendiri dari popok bayi atau kain lap.

“Dengan semua kenaikan harga dan rasa frustrasi karena tidak bisa mengatur, saya lebih baik berhenti menstruasi sama sekali,” kata wanita berusia 28 tahun itu sambil air mata mengalir di pipinya.

Dengan lebih dari separuh populasi hidup dalam kemiskinan, puluhan ribu wanita sekarang putus asa mencari alternatif yang terjangkau. Sherine awalnya beralih ke pembalut murah yang katanya menyebabkan iritasi kulit, tetapi itu saat ini juga mahal.

“Saat ini, saya menggunakan handuk dan potongan kain. Saya memilih untuk mendahulukan putri saya. Saya lebih suka membeli susunya. Sedangkan saya, saya bisa melakukannya,” tuturnya.

Saking parahnya, situasi krisis ekonomi di Lebanon disebut bagai ‘neraka’ oleh warganya sendiri. Terputusnya pasokan listrik berdampak pada koneksi internet di berbagai kota, toko roti terancam tutup karena kekurangan bahan bakar. Padahal roti menjadi salah satu makanan pokok bagi warga Lebanon .

Sekitar 6 juta penduduk Lebanon sekarang menghabiskan berjam-jam antrean panjang di pom bensin untuk membeli bahan bakar. Mereka berjuang dengan pemadaman listrik hingga 22 jam sehari dan kekurangan medis yang parah.

“Kita sungguh-sungguh berada di neraka,” ujar Firas Abiad selaku Direktur Jenderal Rumah Sakit Universitas Rafik Hariri, yang memimpin perjuangan melawan Corona di Lebanon. (Inge/det.c)