Cerita Nasib, Puluhan Tahun Mandikan Keris Pusaka di TMII

Jam : 13:28 | oleh -195 Dilihat
Penjamasan pusaka di Museum Pusaka TMII, Jakarta Timur, Selasa (10/8/2021)
Penjamasan pusaka di Museum Pusaka TMII, Jakarta Timur, Selasa (10/8/2021)

ToeNTAS.com,- Nasib Hadi Prayitno (52) sudah puluhan tahun jadi Konservator di Museum Pusaka Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Awal ketertarikannya pada penjamasan benda pusaka ketika dia melihat kakeknya. Nasib, sapaannya merupakan lelaki kelahiran Wonosari, Yogyakarta.

Menghabiskan waktu kecil di kampung halaman, ia kerap melihat sang kakek menjamas pusaka atau pemandian benda pusaka setiap satu Suro atau 1 Muharam.

Dalam ritual pencucian benda-benda pusaka, kata Nasib, memang tak sembarangan orang yang melakukan. Apalagi pada zaman dulu.

“Saya turunan untuk jemasan keris ini. Dulu kakek saya juga memandikan benda pusaka sewaktu di kampung,” katanya kepada TribunJakarta.com, Selasa (10/8/2021).

Berbekal melihat proses jemasan selama bertahun-tahun, ia kemudian sedikit banyak memahami terkait tradisi tersebut.

Sampai pada tahun 1993, ia hijrah ke Jakarta dan bergabung di salah satu sanggar kesenian.

Kemudian karirnya semakin jelas ketika di tahun yang sama ia bekerja di Museum Pusaka TMII.

Di tahun tersebut pula ia ditugaskan untuk melakukan penjamasan pusaka.

“Jadi Bu Sri Lestari, yang punya keris ini menghibahkan ke Museum Pusaka. Itu ada 4 ribu keris. Saya memang rutin melakukan penjamasan dari dulu sampai sekarang,” lanjutnya.

 Proses penjamasan

Diawali dengan kirab, penjamasan pusaka dilakukan pada satu Suro atau 1 Muharam.

Nasib mengatakan untuk penjamasan sendiri memang tradisi yang sudah dilakukan sejak dulu.

Di mulai dengan merendam keris di air kelapa, lamanya proses jamasan ditentukan dari kondisi keris tersebut.

“Proses jamasan dimulai dengan merendam keris. Keris berkarat kita rendam dulu dengan air kelapa. Lamanya waktu ini tergantung dari karat yang ada. Kalau sedikit bisa tiga hari. Seminggu juga ada, dua minggu juga ada,” paparnya.

Selama perendaman, keris terus dikontrol atau dilihat kondisinya.

Selanjutnya dikeringkan dan dilanjutkan proses berikutnya, yakni warangan.

“Selanjutnya proses warangan. Kalau tadi habis direndam putih doang, setelah diwarangin beda warnanya,” katanya.

Kemudian dilanjut dengan membilas warangan. Lalu, keris dibilas kembali dengan jeruk nipis dan disikat dengan sabun.

“Walau disikat kadar besinya gak berkurang,” ucap Nasib.

Proses berikutnya dijamas atau dimandikan dengan air kembang, lalu dibilas dengan air bersih.

Kemudian dikeringkan dan terakhir diberi minyak.

“Untuk minyak tergantung, kalau di sini pakai minyak cendana,” ujarnya.

Nasib menuturkan selama ini penjamasan ia melantunkan sejumlah doa, diantaranya kalimat syahadat dan doa selamat.

“Kalau dulu pakai bahasa sansekerta di zaman kakek saya. Kalau saya pakai doa aja, intinya kalimat syahadat dan doa selamat untuk yang punya keris juga,” jelasnya.

Sejauh ini, Nasib tak pernah memiliki pantangan sebelum penjamasan meskipun keris kerap dihubungkan dengan hal magic.

“Saya enggak ada pantangan. Kalau keris disebutnya hasilnya tuah doa hasil si empu saat bikin keris. Tirakan dari si empu dan pastinya baik. Ya tapi memang ada yang diisikan dan kental dengan magic. Tapi kembali lagi ke kepercayaan masing-masing,” jelasnya. (Oki/tribj.c)