ToeNTAS.com,- Pada Kamis (30/9), karier puluhan pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) akan resmi berakhir setelah dipecat oleh pimpinan lembaga antirasuah tersebut. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai satu-satunya orang yang bisa membatalkan keputusan pemecatan itu pun sepertinya akan tetap bergeming.
Pegawai KPK yang dipecat sebenarnya masih berharap keajaiban sikap dari Jokowi. Apalagi pada Mei lalu, Jokowi telah meminta TWK tidak dijadikan dasar pemecatan pegawai di KPK.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyampaikan keterangan terkait pelantikan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di gedung KPK, Jakarta, Selasa (1/6/2021). KPK resmi melantik 1.271 pegawai yang lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk menjadi ASN.
“Saat ini kami dalam posisi masih berharap pada putusan Presiden walaupun tentu kami enggak memaksa presiden,” kata Pegawai KPK nonaktif, Hotman Tambunan di Jakarta, Selasa (28/9).
Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Antikorupsi KPK itu mengaku akan tetap mengajukan upaya hukum kalaupun presiden Jokowi memilih tidak merespon polemik yang terjadi. Kendati, dia masih berharap Presiden Jokowi mengambil alih penyelesaian polemik tersebut.
“Jikapun misalnya presiden tak bersikap maka kami pun tak perlu menangisinya paling mengambil langkah hukum harapan berikutnya hanya pada hakim,” katanya.
Jelang pemecatan, Hotman mengaku saat ini pimpinan KPK sudah tidak membuka komunikasi apa pun terhadap puluhan pegawai yang dipecat. Dia mengatakan, saat ini hanya akan mengikuti putusan pimpinan lembaga antirasuah tersebut.
“Saat ini kami berproses untuk menyelesaikan segala urusan administrasi terkait pemberhentian kepegawaian kami,” katanya.
Seperti diketahui, KPK resmi memecat 57 pegawai yang dinilai tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan TWK, termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Pemberhentian tersebut berlaku efektif per 1 Oktober 2021 nanti.
TWK merupakan proses alih pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi polemik lantaran dinilai sebagai upaya penyingkiran pegawai berprestasi dan berintegritas. Ombudsman juga telah menemukan banyak kecacatan administrasi serta didapati sejumlah pelanggaran HAM oleh Komnas HAM.
Meski demikian, KPK mengesampingkan temuan Ombudsman dan Komnas HAM terkait pemecatan pegawai. Pimpinan KPK hanya berpegang serta menyinggung putusan MA dan MK yang menyatakan pelaksanaan TWK sah.
Pada Selasa (28/9), Indonesia Corruption Watch (ICW) mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi terkait situasi pemberantasan korupsi terkini, terutama seusai percepatan pemecatan 56 pegawai oleh pimpinan KPK. Surat dikirimkan melalui ojek daring yang dialamatkan ke Istana Negara.
“Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap KPK terus merosot dari waktu ke waktu dan pada saat yang sama, upaya pemberantasan korupsi mengalami ketidakpastian dan bahkan kemunduran,” kata peneliti ICW, Adnan Topan Husodo dalam keterangan, Selasa (28/9).
Surat telah diantarkan melalui aplikasi ojek daring ke Istana Negara tepat pukul 17.00 WIB. ICW juga mengirimkan surat serupa ke alamat e-mail Kementerian Sekretariat Negara (humas@setneg.go.id dan persuratan@setneg.go.id).
Dalam suratnya, ICW menilai kisruh yang terjadi di KPK terjadi karena presiden gagal bersikap tegas terhadap siapapun yang mengganggu upaya pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi juga dinilai sebagai sosok yang langsung membuka keran bagi pelemahan kerja pemberantasan korupsi melalui revisi UU KPK.
ICW juga menyoroti sikap Presiden Jokowi yang enggan bersikap dan seolah lari dari tanggung-jawab untuk menyelesaikan kontroversi TWK KPK. Adnan menilai jika presiden sanggup menggunakan ketajaman hati nurani untuk melihat situasi tersebut maka akan sangat mudah mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah yang ada.
“Namun sampai menjelang hari akhir nasib 56 pegawai KPK pada tanggal 30 September 2021, bapak presiden tidak mengeluarkan sikap apapun,” katanya.
ICW menilai, diamnya Presiden Jokowi sebagai persetujuan secara tidak langsung atas pemecatan secara sewenang-wenang 56 pegawai KPK berintegritas tersebut. Adnan menegaskan, pemberantasan korupsi secara serius merupakan tanggung jawab besar dari seorang kepala negara.
“Bangsa ini patut menyesal, Indonesia pernah lebih baik dalam memberantas korupsi namun tidak untuk hari ini,” katanya. (Sinta/cnni.c)