Tanah di Cakung Masih Sengketa, Menteri ATR/BPN Keluarkan SK, Pengamat Sebut Bisa Diproses Pidana

Jam : 14:50 | oleh -362 Dilihat
ilustrasi
ilustrasi

ToeNTAS.com,- Adu klaim kepemilikan lahan antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN) dengan pihak Abdul Halim yang diwakili kuasa hukumnya, Hendra masih terus berlanjut.

Seperti diketahui, sengketa lahan terjadi di Cakung, Jakarta Timur, melibatkan lahan seluas 7,7 hektar.

Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil mengklaim tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 4931/Cakung Barat tersebut merupakan milik PT Salve Veritae.

Sofyan memperkuat klaimnya dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Menteri ATR/Kepala BPN untuk membatalkan SK Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN DKI Jakarta Nomor 13/Pbt/BPN.31/IX/2019 tanggal 30 September 2019 tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang menjadi dasar penerbitan kepemilikan tanah seluas 7,7 hektar atas nama Abdul Halim.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai Sofyan dan pejabat ATR/BPN yang mengeluarkan SK tersebut bisa berpotensi diproses pidana.

Fickar mengaku heran Menteri berani mengeluarkan SK di tengah sengketa meski mengetahui ada sengketa.

“Seharusnya status quo menunggu putusan sengketanya mempunyai kekuatan hukum tetap,” kata Fickar kepada awak media pada Jumat (10/12/2021).

Dia mengatakan, pejabat publik seperti ini bisa dibawa ke pengadilan pidana.

“Supaya menjadi pelajaran bagi pejabat publik lainnya. Mestinya menghormati peradilan,” ujarnya.

Fickar juga menyoroti maraknya kasus mafia tanah yang belum juga selesai.

Menurut dia, biang keladi masalah pertanahan adalah sulitnya birokrasi pertanahan agraria khususnya dalam pendataan sertifikat pendaftaran tanah.

Sementara Pakar Hukum Tata Negara Prof Juanda menyebut BPN semestinya menunggu kasus sengketa tanah di pengadilan sampai berkekuatan hukum tetap baru kemudian menerbitkan sertifikat.

“Seharusnya memang kalau satu satu objek sengketa bergulir di pengadilan seharusnya tidak mengeluarkan satu perbuatan hukum. Apapun ditunda sampai ada kepastian hukum atau ditunda sampai putusan itu yang mempunyai kekuatan hukum tetap. artinya tidak ada banding lagi,” tuturnya.

Prof Juanda mengatakan, BPN wajib memperbaiki kesalahannya yang menerbitkan sertifikat atas objek yang disengketakan.

Sementara itu, Maman Suherman (57) mengadu ke Propam Mabes Polri dan meminta perlindungan hukum.

Ia merasa diperlakukan dengan tidak adil oleh penyidik Bareskrim Polri.

Sebab, ia dilaporkan atas tudingan pemalsuan surat atau akta autentik, dan turut serta.

Warga Tangerang ini mengaku bingung dilaporkan polisi hanya karena mengantar petugas BPN dan pemilik tanah melakukan pengukuran.

“Saya hanya mengantar dan menjadi saksi, tidak tau apa-apa malah dilaporkan ke polisi begini,” ujarnya.

Seingatnya, pada Juni 2018 dirinya ditawari pekerjaan oleh temannya untuk mengantar dan menyaksikan pengukuran tanah di Cakung, Jakarta Timur.

Saat itu, ia bersedia karena akan mendapat honor mengantar.

Dia merasa ada pihak yang menzaliminya, karena dianggap terlibat pemalsuan surat tanah. Ia mengaku tidak pernah sama sekali melihat surat baik girik, apalagi sertifikat tanah.

Pria yang mengidap diabetes ini berharap polisi lebih objektif menangani kasus tersebut.

Sementara Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Andi Rian Djajadi ogah menanggapi terkait laporan Maman Suherman ke Divisi Propam Polri.

“Bukan tugas saya menanggapi (laporan Maman ke Divisi Propam),” kata Andi.

Andi tidak menampik penyidik Subdit II Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim telah menetapkan Maman Suherman sebagai tersangka kasus tersebut.

Hanya saja, Andi tidak mau mengungkap siapa yang melaporkan Maman dalam kasus ini.

“Iya betul (tetapkan Maman jadi tersangka). Tunggu waktu release saja, karena yang bersangkutan tidak sendiri,” ujarnya.

Seperti diketahui, sebelumnya Mantan juru ukur BPN Jakarta Timur Paryoto dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA).

Dia disebut terlibat dalam kasus pemalsuan sertifikat, di Cakung yang juga menyeret pemilik PT. Salve Achmad Djufri dan Benny Tabalujan yang saat ini masih dalam status DPO dan berada di luar negeri.

Polda Metro Jaya menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemalsuan akta autentik tanah, yaitu Benny Simon Tabalajun selaku pimpinan PT Salve Veritate dan rekannya, Achmad Djufri.

Kemudian, belakangan Paryoto juga terlibat dalam kasus ini.

Kasus itu bermula dari laporan polisi yang diterima pada 2018 lalu.

Laporan itu terdaftar dengan Nomor: LP/5471/X/2018/PMJ/Ditreskrim, tanggal 10 Oktober 2018.

Namun, belakangan Abdul Halim dan Maman dilaporkan ke Bareskrim Polri atas dugaan pemalsuan pada 28 Oktober 2020, oleh RA, dengan laporan nomor LP/B/0613/X/2020. (tn.c/Mela)