Kontroversial Kenaikan Pangkat Prabowo Menjadi Jenderal

Jam : 06:53 | oleh -144 Dilihat
Prabowo saat menerima penghargaan Jenderal dari Pesiden RI Jokowi
Prabowo saat menerima penghargaan Jenderal dari Pesiden RI Jokowi

Jakarta, ToeNTAS.com,- Presiden Joko Widodo memberikan gelar Jenderal Kehormatan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Rabu (28/02). Peneliti mempertanyakan keputusan ini, sementara keluarga korban pelanggaran HAM berat dan aktivis dengan tegas menolaknya.

Pemberian kenaikan pangkat militer kehormatan itu dilakukan dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu (28/02) pagi.

“Pemberian anugerah tersebut telah melalui verifikasi Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dan, indikasi dari penerimaan anugerah bintang tersebut sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2009,” kata Jokowi.

“Berdasarkan usulan Panglima TNI, saya menyetujui untuk memberikan kenaikan pangkat secara istimewa berupa jenderal TNI Kehormatan [untuk Prabowo].”

Kenaikan pangkat ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 13/TNI/Tahun 2024 yang terbit pada 21 Februari.

Sebelumnya, pangkat terakhir Prabowo adalah Letnan Jenderal (Purn) atau bintang tiga.

Dengan demikian, mantan Komandan Jenderal Kopassus dan Panglima Kostrad itu kini menyandang bintang empat.

Sebelumnya, juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan kenaikan pangkat istimewa ini mempertimbangkan kontribusi Prabowo untuk kemajuan dunia militer dan pertahanan Indonesia.

Pada 2022, Prabowo menerima empat tanda kehormatan yang disematkan oleh panglima TNI dan tiga kepala staf angkatan TNI. Salah satunya adalah Bintang Yudha Dharma Utama, yang diberikan untuk jasa-jasa Prabowo di bidang pertahanan.

Dahnil pun menegaskan, pada 1998 Prabowo tidak dipecat, tapi diberhentikan dengan hormat, sehingga berhak menerima gelar Jenderal Kehormatan.

“Beliau berhenti dengan hormat, dan memperoleh pensiun dulu, jadi tidak ada masalah,” kata Dahnil, seperti dilaporkan Wartawan.

Mempertanyakan keabsahan kenaikan pangkat Prabowo

Setelah acara pemberian pangkat tersebut, Presiden Jokowi mengatakan pemberian pangkat Jenderal Kehormatan ini adalah hal biasa.

Sebelumnya, mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga sempat mendapat kenaikan pangkat istimewa, tambah Jokowi.

“Ini sesuatu yang sudah biasa di TNI maupun di Polri,” kata kepala negara.

Made Supriatma, peneliti ISEAS–Yusof Ishak Institute, mengatakan kenaikan pangkat Prabowo tidak bisa dibandingkan dengan Luhut dan SBY.

“Beda banget. Luhut dan SBY itu pernah dapat [kenaikan pangkat istimewa], tetapi mereka tidak pernah mendapat pemberhentian, tidak pernah diperiksa oleh DKP [Dewan Kehormatan Perwira] dengan amar keputusan yang luar biasa,” kata Made pada Wartawan pada Rabu (28/2).

Akhir dari Podcast

Sebagai catatan, setelah presiden otoriter Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, Baharuddin Jusuf Habibie diangkat jadi presiden.

Hanya sehari berselang, Habibie meminta Panglima ABRI Wiranto untuk mencopot Prabowo dari posisinya sebagai panglima Kostrad.

Ini dilakukan setelah Habibie mendengar kabar soal pergerakan diam-diam pasukan Kostrad untuk mengepung Jakarta, seperti ditulis dalam buku Detik-detik yang Menentukan. Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006).

Prabowo kemudian dimutasi jadi komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI, sebelum diberhentikan dari dinas militer pada Agustus 1998 lewat pengumuman langsung oleh Wiranto berdasarkan pertimbangan dari DKP.

Dalam pertimbangan DKP, ada dugaan Prabowo melakukan tindak pidana penculikan dan penahanan terhadap beberapa aktivis pada masa itu, tindak indisipliner, dan pelanggaran norma-norma kemiliteran, merujuk catatan LBH Jakarta.

Setelahnya, Habibie menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 1998 soal pemberhentian Prabowo. Namun, di situ tertulis bahwa Prabowo diberhentikan “dengan hormat”.

“Sekarang, Mabes TNI yang mengusulkan [kenaikan pangkat Prabowo]. Apakah Mabes TNI pernah mencabut atau membuat tim kehormatan perwira yang sederajat dengan tim yang ada tahun 1998, lalu mencabut keputusan DKP pada 1998 itu?” kata Made, yang juga anggota majelis pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Hingga saat ini keputusan DKP masih berlaku. Karena itu, kata Made, mereka yang menjadi anggota DKP 1998, termasuk Subagyo Hadi Siswoyo, SBY, Agum Gumelar, dan Fachrul Razi, mesti bisa mempertanggungjawabkan keputusan itu.

“Kalau Habibie kan presiden sipil, bisa saja dia bilang [memberhentikan dengan hormat]. Tapi di dalam TNI sendiri itu bagaimana? Ini kan tidak pernah dianulir keputusan DKP,” kata Made.

“Saya kira, ini pelanggaran lain atas norma berbangsa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi.”

Penolakan keluarga korban pelanggaran HAM

Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) dengan tegas mengecam pemberian pangkat Jenderal Kehormatan bintang empat untuk Prabowo Subianto.

KMS mencakup berbagai organisasi sipil, termasuk Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Asia Justice and Rights (AJAR), Amnesty International Indonesia, dan Imparsial.

“Hal ini tidak hanya tidak tepat tetapi juga melukai perasaan korban dan mengkhianati Reformasi 1998,” kata KMS dalam pernyataan tertulisnya yang diterima Wartawan pada Rabu (28/02).

Pemberian gelar Jenderal Kehormatan kepada Prabowo Subianto disebut “langkah keliru”.

“Gelar ini tidak pantas diberikan mengingat yang bersangkutan memiliki rekam jejak buruk dalam karier militer, khususnya berkaitan dengan keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu,” ujar KMS.

“Pemberian gelar tersebut lebih merupakan langkah politis transaksi elektoral dari Presiden Joko Widodo yang menganulir keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu.”

Pada 2018, dokumen rahasia Amerika Serikat yang dirilis ke publik oleh lembaga Arsip Keamanan Nasional (NSA) menyebut bahwa Prabowo memerintahkan Kopassus untuk menghilangkan paksa sejumlah aktivis pada 1998.

Di salah satu dokumen dengan tanggal 7 Mei 1998, tercatat percakapan seorang staf politik Kedutaan Besar AS di Jakarta dengan seorang pemimpin organisasi mahasiswa.

Narasumber itu mengaku mendapat informasi bahwa penghilangan paksa dilakukan Grup 4 Kopassus yang dikendalikan Prabowo.

“Penghilangan itu diperintahkan Prabowo yang mengikuti perintah dari Presiden Soeharto,” sebut dokumen tersebut.

Ada 13 orang yang hilang pada 1998 dan belum jelas kabarnya hingga kini: Dedy Hamdun, Nova Al Katiri, Ismail, Yani Afri, Sony, Hermawan Hendrawan, Hendra Hambali, M. Yusuf, Petrus Bima Anugrah, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, dan Wiji Tukul.

Di sebuah acara di Jakarta pada 27 Januari, Prabowo juga mengaku pernah mengejar para aktivis 1998, sembari meminta maaf kepada mereka, utamanya Budiman Sudjatmiko dan Agus Jabo yang hadir di acara tersebut.

Agus, yang ketua umum Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), dan Budiman masuk ke dalam tim kampanye pasangan Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden 2024.

“Agus Jabo ketua Prima, maaf dulu saya kejar-kejar Anda. Dulu. Atas perintah. Bandel sih dulu,” ujar Prabowo.

“Kemudian saudara Budiman Sudjatmiko. Ini juga sorry, Man, dulu kejar-kejar elu juga. Tapi gue udah minta maaf sama elu ya.”

Pada 2006, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menetapkan kasus penghilangan paksa sebagai pelanggaran HAM berat.

Hasil penyelidikan tim ad hoc Komnas HAM pun menunjukkan adanya dugaan keterlibatan Prabowo, serta merekomendasikan agar kasus penghilangan paksa diadili di pengadilan HAM. Hingga kini, rekomendasi itu tidak ditindaklanjuti Kejaksaan Agung.

Selain itu, pada 2009, DPR menerbitkan empat rekomendasi terkait kasus penghilangan paksa periode 1997-1998, salah satunya agar presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc. Hingga kini, ini pun belum terwujud.

“Serangkaian tindakan Presiden Joko Widodo yang kerap kali memberikan apresiasi dan karpet merah bagi terduga pelaku kejahatan HAM di Indonesia tentu turut memperkuat belenggu impunitas di bumi pertiwi,” kata KMS dalam pernyataan tertulisnya.

Menelaah motif politik Jokowi

Presiden Joko Widodo menepis anggapan bahwa pemberian pangkat Jenderal Kehormatan pada Prabowo Subianto adalah transaksi politik.

“Ya kalau transaksi politik kita berikan aja sebelum pemilu. Ini kan setelah pemilu supaya tidak ada anggapan-anggapan seperti itu,” kata Jokowi setelah acara pemberian pangkat tersebut.

Namun, Siti Zuhro, peneliti politik senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan sebaliknya.

“Itu sudah tidak perlu dipertanyakan. Jelas sekali,” kata Siti.

Menurut Siti, dengan memberikan Prabowo apa yang diinginkannya menjadi jenderal, Jokowi berusaha menjaga pengaruh atau status quo di pemerintahan selanjutnya, yang berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei akan dipimpin Prabowo.

Ini adalah bagian dari usaha besar Jokowi untuk mempersiapkan kehidupan setelah tidak lagi menjabat presiden, yang bisa ditelurusi jejaknya dari memajukan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden hingga ikut bergerilya membentuk koalisi pemerintahan di tingkat eksekutif maupun legislatif, kata Siti.

Sebelumnya, Dradjad Wibowo, anggota dewan pakar tim kampanye Prabowo-Gibran, mengatakan Jokowi akan memainkan peran penting dalam pembentukan kabinet pemerintahan selanjutnya.

Kata Dradjad, ini penting untuk memuluskan transisi pemerintahan dan memastikan keberlanjutan program peninggalan Jokowi.

Bagi Siti, ini tak hanya soal keberlanjutan program.

“Jadi [Jokowi] memikirkan pasca-pemerintahannya itu seperti apa. Kelanjutan itu tidak sekadar programnya, tapi kelanjutan dia berkuasa juga sebetulnya,” kata Siti.

“Dari awal, cawe-cawe Jokowi itu luar biasa. Dia berusaha menyempurnakan cawe-cawe-nya menurut saya, mulai tahap awal sampai tahap pembentukan [kabinet].”

Menurut Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, kenaikan pangkat ini bisa jadi juga merupakan usaha mengonsolidasi TNI untuk mendukung Prabowo, yang kini telah berpangkat jenderal kehormatan.

“Karena kita tahu bahwa banyak purnawirawan terpecah-pecah, di banyak kubu,” kata Ujang.

“Bisa jadi pemberian pangkat bintang empat tersebut bagian daripada konsolidasi TNI dalam konteks mendukung sepenuhnya Prabowo Subianto.” (bbc.c/Leon)