SOLO, ToeNTAS.com, – Dalam Pengetan Surud Dalem Ingkang Sunuwun Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo yang diselenggarakan Lembaga Dewan Adat (LDA) Kraton Surakarta Hadiningrat terungkap dalam diskusi yang di gelar setelah usai umbul donga (memanjatkan doa) dan bertajuk ‘Diskusi sejarah dan budaya Kraton Surakarta sebagai kelanjutan Disnasti Mataram yang digelar pada, Kamis (5/3) malam di Masjid Agung, Solo itu terungkap, kondisi sekarang ini semakin tipis pengetahuan masyarakat tentang sejarah perjuangan kraton-kraton dalam mendirikan kemerdekaan negara Republik Indonesia ini. “Hal ini sangat memprihatinkan, karena akan membuat generasi muda akan tidak mengetahui kebenaran sejarah” ungkap Dra GKR Wandansari, MPd, ketua LDA Kraton Surakarta itu
Pembelokan sejarah tersebut tidak lain terjadi karena kekuasaan pada zamannya. Sehingga, jika sejarah ini tidak diungkap berdasarkan fakta dan naskah-naskah yang autentik sesuai dengan konstitusi, maka generasi muda akan semakin tidak mengerti. Dalam diskusi tersebut menghadirkan 3 nara sumber, yakni GKR Wandansari, Dani Saptoni, S.S (sarjana sastra) dan RMRP Restu B Setiawan, SPd, MPd (Pemersudi Kasusastran Jawi).
Lebih jauh Goesti Moeng mencontohkan, masalah kelahiran Kota Surakarta yang di peringati Pemkot Surakarta, setiap tanggal 17 Pebruari tersebut tidak benar, sebab Kota Surakarta itu berdiri bersamaan dengan perpindahan Kraton Kartasura ke Kraton Surakarta, yakni pada tanggal 17 Sura tahun Je (penanggalan jawa) dan jatuh pada tanggal 20 Pebruari 1745 (penanggalan masehi). “Ini baru peringatan hari jadi Kota Surakarta saja salah dan tidak di benarkan, sehingga berlangsung bertahun-tahun tanpa pelurusan” ujarnya
Bahkan juga terungkap dalam diskusi tersebut, dimana ketika zaman penjajahan, Kraton Surakarta dianggap pro Belanda dan mendapatkan bantuan dari pihak VOC. Sementara naskah sejarah, maupun fakta-fakta tidak ada satupun yang menyebutkan hal itu, ini jelas menyakitkan. Belum lagi masalah Perjanjian Giyanti juga dibelokkan, sebab tidak ada satupun bukti autentik maupun fakta sejarah yang menyebutkan, bahwa Bumi Mataram itu di bagi menjadi dua antara Kraton Kasunanan Surakarta dengan Kasultanan Yogyakarta.
Menurut Restu, pada perjanjian Giyanti itu tertulis, Paku Buwono III hanya menyerahkan tanah Gaduhan (wilayah) dan Palungguh (kedudukkan) kepada Mangkubumi. Namun sampai sekarang masyarakat tahunya Mataram itu di bagi sigar semangka. Hal ini terjadi, karena para sejarawan hanya membaca naskah sejarah karya orang Belanda. Sedangkan sejarah yang benar itu di tulis para pujanggga dengan Huruf Jawa atau berupa tembang. Sementara hanya sedikit orang yang paham tentang maknanya. “Kami merasa dikhianati selama 75 tahun, maka dari itu para sejarawan, budayawan maupun akademisi untuk kembali membedah sejarah dengan bukti-bukti autentik sesuai dengan konstitusi” ungkapnya.
Belum lagi tentang banyaknya janji pemerintah kepada kraton-kraton di nusantara ini yang belum dipenuhi, diantaranya mewujudkan Daerah Istimewa Surakarta (DIS) yang hingga kini masih terkatung-katung. Padahal, persyaratan yang diajukan Kraton Surakarta Hadiningrat berupa Maklumat Paku Buwono XII dan Piagam Jakarta sudah lengkap dan di kaji bersama. “Masih banyak lagi janji pemerintah kepada kraton-kraton di luar Pulau Jawa yang juga belum dapat dipenuhi” pungkas Goesti Moeng. (her)