Cerita Anak Tukang Becak Sukses Raih Gelar Doktor di Usia 27 Tahun, Selesaikan S2 Cuma 3 Bulan

Jam : 05:51 | oleh -105 Dilihat

ToeNTAS.com,- Viral kisah anak tukang becak sukses raih gelar doktor di usia 27 tahun, ini ungkapan kebahagiaan dari Lailatul Qomariyah.

Lailatul Qomariyah tak kuasa menyembunyikan kebahagiaannya akhirnya berhasil meraih gelar doktor dengan upayanya sendiri meski terlahir dari pasangan tukang becak dan buruh tani.

Di usianya yang baru 27 tahun Lailatul Qomariyah sukses meraih gelar doktor teknik kimia di Fakultas Tekhnologi Industri, ITS Surabaya.

Lahir dari keluarga miskin, tidak membuat minder Lailatul Qomariyah, mahasiswa Institut Tekhnologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, untuk mengukir prestasi akademik yang cemerlang.

Di usianya yang baru menginjak 27 tahun satu bulan, anak sulung pasangan dari Saningrat (43) dan Rusmiati (40), asal Dusun Jinangka, Desa Teja Timur, Kecamatan Pamekasan, Kabupaten Pamekasan, telah meraih gelar doktor teknik kimia di Fakultas Tekhnologi Industri, ITS Surabaya.

Disertasinya tentang aplikasi silika untuk solar sel yang berjudul “Controllable Characteristic Silica Particle and ITS Composite Production Using Spray Process”, berhasil dipertahankan di hadapan para pengujinya pada Rabu (4/9/2019) kemarin.

Dari 80 mahasiswa lebih yang mengikuti program doktoral, hanya Lailatul Qomariyah yang siap mengikuti sidang terbuka dan dinyatakan lulus dengan nilai IPK 4.0.

Laila, sapaan akrabnya, juga satu-satunya mahasiswa di kampusnya yang mampu menyelesaikan kuliah secara singkat, dari jenjang S2 ke S3, hanya dalam jangka waktu tiga tahun.

Lailatul menceritakan perjalanan akademiknya yang tergolong cukup singkat.

Setelah lulus dari SMAN 1 Pamekasan tahun 2011, Laila melanjutkan ke ITS Surabaya setelah berhasil meraih beasiswa.

Lulus S1 Fakultas Tekhnologi Industri, Laila kemudian melanjutkan ke program pasca-sarna S2 di fakultas yang sama.

Di jenjang ini, perempuan yang selalu meraih ranking 1 sejak SD hingga SMA ini, hanya menjalani studi selama tiga bulan melalui program fast track.

“Selama S2, ada target IPK harus 3,5 jika mau dinyatakan lulus dalam program fast track.

Alhamdulillah, IPK saya melampaui ketentuan itu karena IPK saya 4.0 sehingga S2 saya hanya tiga bulan,” terang Laila, saat dihubungi wartawan, Minggu (8/9/2019).

Perempuan yang punya hobi nonton debat berbahasa Mandarin di tv ini kembali menceritakan, setelah lulus S2 program fast track, Laila kembali mendapatkan beasiswa melalui Program Magister Doktor Sarjana Unggul (PMDSU).

Dari teman-teman satu angkatannya, hanya Lailatul seorang yang bisa mendapatkan PMDSU dari Kementrian Riset dan Tekhnologi Pendidikan Tinggi.

Masuk sebagai mahasiswa program doktoral, Laila langsung mendapatkan beasiswa untuk melakukan riset ke Jepang dalam rangka persiapan riset disertasi yang diajukannya, tentang pemanfaatan aplikasi silika solar sel sebagai pengganti energi yang dihasilkan dari minyak bumi dan batubara.

Di Jepang, Laila tinggal sendirian dari tahun 2017 sampai 2018, karena hanya dirinya satu-satunya mahasiswa yang bisa mendapatkan beasiswa dari pemerintah.

Happy saja meskipun sendirian di Jepang.

Ini semata-mata untuk mencapai cita-cita dan demi ilmu pengetahuan,” ujar perempuan kelahiran 16 Agustus 1992.

Pulang dari Jepang, kakak kandung dari Ruslan Hamadani dan Maulidi Cahyono ini, langsung menuntaskan disertasinya.

Dua profesor doktor yang menjadi promotor Laila, dan lima penguji dalam sidang terbuka, telah meluluskan Laila.

“Cukup bahagia karena perjuangan dan cita-cita saya untuk meraih pendidikan yang tertinggi bisa terwujudkan,” ungkap dia.

Laila, yang hingga kini masih menjadi asisten dosen di kampusnya, punya tips belajar agar bisa sukes.

Di antaranya, lebih banyak waktu dan kesempatan untuk belajar daripada menyia-nyiakan waktu untuk main-main.

Ketika di kampus, mulai jam 7 pagi dan baru pulang jam 11 malam.

“Selain berlajar yang tekun, jangan lupa berdoa.

Doa juga orangtua lebih penting daripada doa kita sendiri,” ucap dia.

Laila berpesan kepada pelajar yang sedang menempuh pendidikan, agar jangan mudah pasrah kepada keadaan. Baik keadaan ekonomi ataupun kemampuan pribadi.

Baginya, orang miskin sama-sama memiliki kesempatan yang besar untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi.

Tidak ada orang bodoh jika keinginan untuk belajar sangat kuat.

“Kata siapa orang miskin tidak bisa sukses?

Saya sudah membuktikannya.

Ayah saya tukang becak dan ibu saya buruh tani.

Namun, tekad yang kuat untuk mengangkat martabat kedua orangtua saya, saya menjawabnya dengan prestasi pendidikan,” ujar dia.

Saningrat, ayah Laila mengaku sangat bangga dengan anak sulungnya.

Untaian doa setiap waktu dan deraian air mata, menjadi persembahan terbaik untuk anaknya.

Sebab, sejak Laila menempuh pendidikan di ITS, dirinya tidak banyak membantu dari segi pembiayaan.

Laila sudah mandiri sejak masih SMA hingga ke perguruan tinggi.

“Seingat saya, biaya yang saya keluarkan hanya untuk membelikan dia sepeda motor dan laptop.

Selain itu, saya sudah tidak membiayainya karena Laila sudah mengaku mandiri,” ungkap Saningrat, saat ditemui di kediamannya. (tribn.c/Nge)