Jakarta, ToeNTAS.com,- Baru-baru ini viral sebuah video yang memperlihatkan seorang guru menampar siswanya karena kedapatan merokok. Kasus tersebut terjadi di salah satu SMK swasta di Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Pada video tersebut terlihat seorang guru perempuan menampar siswa dengan buku. Lalu, ia menyuruh siswa lain di kelas tersebut untuk ikut menampar siswa yang merokok.
Atas kejadian ini, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengecam perilaku guru terhadap siswanya.
Pihak FSGI menyebut, guru yang menampar peserta didik dan menyuruh siswa lain ikut melakukannya, termasuk dalam kategori perbuatan kriminal. Pasalnya, menurut FSGI perbuatan ini amat ditentang dan meresahkan orang tua.
“Apabila dampak dari perbuatan guru menimbulkan kerugian bagi korban, menyebabkan anak tersiksa dan sengsara yang terukur dari ada kerusakan fisik dan psikis melalui rekomendasi dan keterangan ahli maka FSGI mendorong penegak hukum, memproses hukum pelaku menggunakan pasal 80 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 35 Tahun 2014 dengan ancaman hukuman pidana 3 tahun 6 bulan penjara dan/atau denda Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah),” papar Ketua Tim Kajian Hukum FSGI, Guntur Ismail dalam keterangan resmi, Senin (6/3/2023).
Kekerasan Tidak Boleh Meski untuk Mendisiplinkan
Ketua Dewan Pakar FSGI sekaligus mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti turut menegaskan, kekerasan tidak boleh dilakukan di pendidikan dengan dalih mendisiplinkan sekalipun.
Pihak sekolah maupun kantor cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat wilayah XI memang mengakui kejadian tersebut. Korban dan guru juga sudah dimediasi dan permasalahan telah diselesaikan secara kekeluargaan.
Namun, Retno mengatakan, guru yang menampar murid tersebut perlu diberi sanksi agar ada efek jera. Menurutnya, ini harus dilakukan karena yang bersangkutan melakukan tindak kekerasan terhadap anak dan menyuruh anak-anak lain di kelas itu untuk melakukan tindak kekerasan juga.
“Hal ini sangat berbahaya bagi tumbuh kembang anak, baik yang dipukul maupun yang memukul karena disuruh gurunya. Kekerasan seharusnya tidak boleh dilakukan di pendidikan dengan dalih mendisiplinkan sekalipun,” ungkapnya.
Sementara, sekolah mengatakan adanya kesepakatan yang berisi bahwa jika ada siswa melanggar aturan sekolah sebanyak 1 kali, akan ditegur. Kemudian, jika melanggar sebanyak 2 kali akan diberi surat peringatan. Lantas jika sudah 3 kali maka bisa dilakukan kekerasan dan siswa lain juga akan menghukum siswa yang melanggar aturan tersebut dengan kekerasan pula.
FSGI tidak setuju dengan aturan tersebut karena seharusnya pelanggaran tata tertib sekolah ditangani oleh manajemen sekolah melalui bidang kesiswaan, bukan masing-masing pendidik di sekolah membuat hukum sendiri dan mengeksekusi sendiri.
Menurut FSGI pada pasal 76C UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa kekerasan terhadap anak tidak hanya melakukan, akan tetapi membiarkan, menyuruh melakukan dan ikut serta melakukan termasuk tindak pidana terhadap anak.
FSGI menuturkan, guru dalam kasus penamparan ini memenuhi unsur melakukan, menyuruh melakukan, serta yang disuruh masih tergolong usia anak dan jumlahnya banyak.
Pihak FSGI pun mendorong Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat untuk menindak sekolah yang membiarkan kekerasan terjadi dan bahkan membebaskan guru membuat aturan sendiri yang bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya. Sekolah dinilai melakukan pelanggaran pasal 54 UU Perlindungan Anak.
Retno menambahkan, “Perbuatan si guru telah mengakibatkan peserta didiknya yang notabene masih usia anak telah menjadi korban, saksi sekaligus pelaku tindak kekerasan. Apa yang dilakukan si guru akan membangun budaya kekerasan di kalangan peserta didik.”
Retno menyatakan, tindakan guru di Garut itu tidak mendukung program Kemendikbudristek yang tengah gencar menghapus kekerasan di pendidikan melalui Pokja Pencegahan dan Penanganan 3 Dosa Besar di Pendidikan.
Kata FSGI Soal Siswa SD Bunuh Diri
FSGI sendiri mencatat, sejak awal Januari 2023 ada enam kasus kekerasan berupa pendundungan atau kekerasan fisik dan bully di satuan pendidikan. Apabila diuraikan, di jenjang SD ada 1 kasus, MTs ada 1 kasus, pondok pesantren 1 kasus, dan SMK 3 kasus.
“Adapun kasusnya yaitu: santri (13 tahun) yang dibakar santri senior di Kabupaten Pasuruan, kepala madrasah di Gresik menampar 15 anak karena jajan di luar kantin sekolah, siswa membawa parang ke sekolah di Samarinda karena marah kepada guru olahraganya, guru di Garut menampar siswa yang kedapatan merokok dan menyuruh anak lain di kelas tersebut menghukum siswa perokok tersebut, dan terakhir di kabupaten Banyuwangi ada siswa SD (11 tahun) bunuh diri diduga karena di-bully tidak memiliki ayah,” urai Retno.
Soal kasus siswa SD bunuh diri, Sekjen FSGI Heru Purnomo mengatakan, lebih aneh lagi ketika sekolah korban mengaku tidak pernah tahu bahwa yang bersangkutan dirundung teman-teman sekolahnya.
“Seharusnya para guru membangun empati dan simpati pada peserta didik terhadap sesama peserta didik lain yang sedang berduka karena kehilangan ayahnya, bukan malah di-bully,” kata Heru. (d.c/Yunita)