Solo, ToeNTAS .com, – Kerabat Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang tergabung dalam LDA (lembaga dewan adat) yang dipimpin GKR Wandansari atau Gusti Moeng pada Kamis (26/12) menggelar prosesi ritual Wilujengan Mahesa Lawung, di Hutan Krendhowahono, Gondangrejo, Karanganyar. “Nama Mahesa Lawung itu sebagai simbul kebodohan, sehingga harus disingkirkan di muka bumi ini” ujar Gusti Moeng (sebutan akrabnya) kepada sejumlah wartawan siang itu
Sedangkan makna filosofi dari upacara adat kraton yang di gelar secara kontinyu setahun sekali itu tidak lain, untuk membuang sengkala dan sukerta atau kesialan selama satu tahun belakang ini. Lebih khusus lagi, samapai sekarang Kraton Surakarta sejak Pakoe Boewono XII mangkat, hingga kini masih di dera konflik interen keluarga kraton.
Sehubungan dengan hal itu, maka seluruh keluarga, kerabat, maupun abdi dalem Kraton Surakarta dari keturunan Paku Buwono (PB) II hingga PB XII di hadapan ringin putih memohon doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar konflik antar saudara di Kraton Surakarta, bisa berakhir dengan tentram. “Ini sesuai wasiat Ayah kami, agar Trah Dinasti Mataram, di Kraton Surakarta yang merupakan sumber budaya Jawa ini tetap dapat eksis hingga akhir jaman,” lanjutnya
Prosesi ritual ini awalnya sejumlah sesaji diletakan di Pagelaran Kraton Surakarta, terutama sesaji Kepala Kerbau yang nantinya bakal di tanam di bawah Pohon Ringin Putih yang dipercaya sebagai penunggu gaib Hutan Krendowahono. Saat itu ratusan abdi dalem dan para sentana telah duduk bersila di hadapan sesaji. Tampak duduk berdampingan dengan GKR Wandansari, suaminya Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Dr Edy Wirabumi.
Busana yang dikenakan peserta prosesi ritual sesaji Mahesa Lawung nyaris seragam, mereka mengenakan beskap warna hitam dan kain jarik coklat, di kepalanya ber-blangkon, berkalung samir kuning keemasan, lengkap dengan keris di belakang pinggang, busana ini untuk para abdi dalem. Sedangkan sentana mengenakan beskap putih.
Doa saron sih dipimpin oleh KRT Setiono Dipuro dihadapan sejumlah ubarampe sesaji yang dikelilingi ratusan abdi dalem dan sentana. Seusainya sesaji tersebut diarak dengan kendaraan mobil dan bus menuju Hutan Krendawahono.
Sampai di hutan Krendowahono puluhan abdi dalem mengenakan busana putih sudah melakukan penyambutan. Dengan iringan doa dan suasana magis dan aroma wangi kemenyan menyengat hidung disepanjang perjalanan masuk hutan. Beberapa abdi dalem yang bertugas, lantas mengubur kepala kerbau lengkap dengan kaki dan jerohannya. Upacara Wilujengan Nagari Mahesa Lawung pun ditutup dengan kenduri bersama. Menurut GKR Wandansari ditanamnya kepala kerbau di hutan Krendhowahono yang menurut keyakinan , sebagai simbul dikuburnya kebodohan. (her)