Jakarta – Selepas menginjak usia 17 tahun, tak jarang anak merasa dirinya sudah cukup dewasa. Sehingga, kerap kali anak merasa percaya diri ketika akan melakukan suatu hal. Saat situasi ini terjadi, bagaimana baiknya orang tua bersikap?
Diungkapkan psikolog anak dan remaja dari RSAB Harapan Kita, Ade Dian Komala MPsi, ketika anak merasa dewasa, yang penting dilakukan orang tua adalah berkomunikasi. Sebab, dengan komunikasi orang tua bisa tahu sejauh mana kedewasaan anak. Nah, kedewasaan anak bisa diukur salah satunya dengan melihat kemampuan dia dalam mengatasi masalahnya.
“Misalnya anak 18 tahun mau kuliah di luar kota, tanyakan kenapa dia mau kuliah di luar kota. Dia jawab karena universitasnya termasuk unggulan. Oke, setelah itu ajak ngomong masalah yang bakal ditemui seperti dia nanti harus nge-kos dan sebagainya, ternyata dia bisa planning. Berati anak ini sudah siap karena secara kemandirian berpikir, secara kedewasaan dia sudah matang,” terang Ade saat berbincang dengan wartawan baru-baru ini.
Namun, menurut Ade ada pula anak yang ‘nekat’. Dalam artian, ketika ia ingin kuliah di kota lain, dia hanya mempertimbangkan kata teman-temannya yang mengungkapkan universitas tersebut baik. Nah, ketika anak seperti itu, berarti dia belum cukup dewasa dalam berpikir karena dia melakukan sesuatu berdasarkan konformitas atau kata orang.
Ketika anak seperti itu jauh dari orang tua, bisa saja ia melakukan hal yang tidak semestinya yang hanya dipertimbangkan berdasarkan prinsip ‘kata teman’. Sebab, saat itu si anak belum memiliki nilai yang bisa ia jadikan pegangan. Sehingga, anak seperti itu bisa dikatakan belum dewasa dan belum siap untuk lepas dari orang tua, demikian diungkapkan Ade.
“Jadi orang tua perlu mematangkan kemampuan berpikir si anak sehingga kita bisa menilai bahwa dewasa itu bukan pada usianya tapi pada kemampuan berpikirnya,” kata Ade.
Dalam keseharian pun, sering ditemui seseorang yang secara usia bisa dikatkan sudah dewasa, tapi tidak dengan kemampuan berpikirnya. Menurut Ade, hal itu bisa terjadi karena faktor pola asuh orang tua yang satu arah dan terlalu banyak ‘menyuapi’ anak. Sehingga, anak akan menuruti saja apa kata orang tua.
“Pola asuh yang lebih otoriter permisif ya. Semua disiapin, dilayani orang tua. Akhirnya anak tidak ada kemampuan berpikir, tidak mandiri karena dia tahunya beres aja. Akibatnya anak jadi tahu enaknya, sehingga kemampuan berpikir dia yang mestinya pintar jadi nggak kepakai,” pungkas Ade. (Lia/det.c)