Putusan MK Dinilai Hambat Mendagri Hapus Perda Berpotensi Pungli

Jam : 08:00 | oleh -230 Dilihat

JAKARTA, ToeNTAS.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur pencabutan peraturan daerah (perda) harus melalui mekanisme uji materi di Mahkamah Agung (MA) dinilai menghambat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk segera membatalkan perda yang berpotensi menimbulkan pungutan liar.

Hal ini disampaikan peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Mohammad Yudha Prawira dalam diskusi di kantor KPPOD, Kuningan, Jakarta, Selasa (20/6/2017).

“Ketika pemerintah melakukan upaya percepatan deregulasi atau pun reformasi regulasi di tingkat daerah, ini menjadi terhambat,” ujar Yudha.

Padahal, lanjut Yudha, saat ini sekitar 3.000-an perda yang dianggap bermasalah namun telah berlaku. Menurut Yudha, pencabutan kewenangan Mendagri membatalkan perda juga akan menghambat program yang telah direncanakan pemerintah pusat.

“Misalnya, daerah tidak mampu atau cenderung lambat dalam menyesuaikan dengan peraturan yang diberikan pemerintah pusat,” kata dia.

Sementara peneliti KPPOD lainnya, yakni Armand Suparman mencontohkan perda yang berpotensi menimbulkan pungutan liar. Perda Kabupaten Pangkajene Kepulauan Nomor 5 Tahun 2011, misalnya.

Dalam aturan itu disebutkan bahwa setiap wajib pajak hotel wajib melegalisasi/perforasi bon penjualan (bill) kepada kepala dinas, kecuali ditetapkan lain oleh kepala dinas.

Kemudian apabila wajib pajak hotel tersebut melegalisasi bon yang tidak legal akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda Rp 10.000 per bulan.

Armand mengatakan, tidak ada landasan hukum atas keberlakuan regulasi tersebut, baik untuk melegalisasi bon maupun sanksi.

“Ini berpotensi pungutan liar dari kepala dinas,” kata Armand.

Selain itu, lanjut Armand, perda-perda daerah juga ada yang dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia yang sudah dijamin oleh negara.

Misalnya, Perda Kota Bekasi Nomor 18/2011 dan Perda Kabupaten Karawang Nomor 1/2011 yang terkait pengisian lowongan pekerjaan memprioritaskan warga sekitar perusahaan sekurang-kurangnya 60 persen. Apabila tidak memenuhi kuota, maka dapat diisi warga dari dalam wilayah kota Bekasi.

KPPOD menilai, regulasi tersebut bertentangan dengan UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa setiap warga punya kesempatan yang sama tanpa diskriminasi dalam memeroleh pekerjaan.

“Merupakan hak dasar bagi warga untuk bergerak ke mana pun dan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak,” kata dia. (kom.c/kris/dul)