Penjual Koran Kebelit Utang Kapok Berurusan dengan Rentenir

Jam : 07:45 | oleh -105 Dilihat

Surabaya, ToeNTAS.com,- Wilem Jesen Pitoi, penjual koran yang curhat tentang problem hidupnya, mengaku kapok berutang pada rentenir. Akibat berurusan dengan rentenir itulah hidupnya menjadi serba susah.

Hal ini karena bunga yang ditarik rentenir sangat tinggi bagi dia. Padahal pekerjaan Wilem sehari-hari hanyalah berjualan koran.

“Ini buat pengalaman, ke depan saya gak mau lagi pinjem uang ke rentenir,” kata pria 46 tahun ini kepada detikcom di rumahnya di Jalan Pakis Gunung 2/46D, Rabu (18/10/2017).

Wilem pada Juli 2017 lalu terpaksa meminjam pada rentenir untuk melunasi utang pada Rumah Sakit RKZ yang ditunggaknya. Wilem berurusan dengan RS RKZ saat istrinya menjalani operasi ginjal di RS tersebut pada 2014 lalu.

Saat itu Wilem tidak tahu bahwa RS RKZ tidak menerima BPJS. Biaya operasi dan perawatan selama operasi sebesar Rp 55 juta. Wilem yang tak mampu membayar lunas akhirnya diberi kesempatan membayar secara mengangsur setiap bulannya.

Saat itu Wilem masih mampu mengangsur. Sepanjang tahun 2016, Wilem mulai kesulitan karena koran yang dia jual mulai kurang laku. Di tahun 2017, Wilem benar-benar kesulitan karena koran dagangnnya semakin kurang laku.

Karena bingung tak dapat mengumpulkan uang untuk mengangsur biaya rumah sakit, Wilem yang kalut akhirnya setuju untuk meminjam uang kepada tiga rentenir. Melalui perantara yang adalah tetangganya sendiri, uang tersebut cair.

“Yang terpikir saat itu adalah bagaimana uang operasi bisa terbayar lunas,” ujar Wilem.

Wilem kapok berutang ke rentenir lagi
Wilem kapok berutang ke rentenir lagi

Wilem meminjam dari tiga rentenir dengan total uang yang dipinjam Rp 18,5 juta. Pada 3 Juli 2017, Wilem meminjam Rp 10 juta dengan syarat bunga per bulannya Rp 2 juta.

Pada 24 juli 2017, Wilem meminjam Rp 4 juta yang membengkak menjadi Rp 18 juta dengan kewajiban membayar setiap harinya Rp 150 ribu selama 120 hari.
Pada 15 September 2017, Wilem meminjam Rp 4,5 juta dengan kewajiban membayar setiap harinya Rp 160 ribu.

“Bayangkan, dari Rp 4 juta jadi Rp 18 juta,” keluh Wilem.

Biaya operasi memang terbayar lunas, tetapi Wilem tak sadar dengan konsekuensinya berutang ke rentenir. Setiap hari ia ditagih, baik lewat telepon maupun orangnya sendiri yang datang ke kos.

“Kadang lewat telepon ditagih, kadang ya datang kesini, memang gak sampai diancam atau apa, tapi minta cepat dibayar,” jelasnya.

Hal ini membuat Wilem terpaksa harus mencari pinjaman lain. Akibatnya, utangnya bertumpuk.

“Saya gali lubang tutup lubang. Pinjaman pertama belum lunas, saya harus pinjam lagi. Pinjaman kedua belum lunas, saya pinjam lagi,” pungkasnya.

Saat sudah tak mampu lagi menahan cobaan hidupnya, Wilem akhirnya curhat. Dia menulis curhatnya pada selembar kertas. Kertas itu diperbanyak dan diselipkannya di setiap koran yang dijualnya.

Wilem kini kapok. Ia tak mau berurusan lagi dengan rentenir. Wilem ingin agar utangnya bisa segera lunas. Dengan demikian ia tidak lagi berurusan dengan para rentenir yang selalu menekannya untuk segera melunasi utang.

Wilem mengaku bersyukur jika utangnya ada yang melunasi. Hal tersebut juga membuat dia berjanji pada dirinya untuk tidak meminjam uang ke rentenir lagi.

“Udah gak mau berurusan dengan rentenir lagi meski kepepet, hancur yang ada,” pungkas Wilem. (det.c/deva)