Minyak Goreng: Resah di Tengah Produk Berlimpah

Jam : 11:03 | oleh -305 Dilihat
ilustrasi
ilustrasi

Jakarta, ToeNTAS.com,- Naiknya harga minyak goreng di pasaran sangat memukul perekonomian, terutama masyarakat kecil. Kenaikan kebutuhan pokok itu juga membuat pedagang gorengan dan usaha kuliner kelimpungan. Bagi mereka tidak ada pilihan untuk menutupi kebutuhan hidup usaha harus tetap berjalan meski dilematis. Menaikkan harga dagangan risikonya ditinggalkan pelanggan. Yang dilakukan pedagang akhirnya menurunkan kualitas. Ukuran gorengan dibuat lebih minimalis, porsi makanan juga dikurangi.

Parahnya, karena mahalnya harga minyak goreng, ada pedagang keliling menyiasatinya dengan tidak kunjung mengganti minyak penggorengannya, walaupun telah berubah warna kehitaman dan beraroma menyengat. Konsumennya tidak pernah protes karena sebagian besar adalah murid sekolah dasar yang lugu.

Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) mencatat, harga minyak goreng di pasar tradisional kondisi 10 Januari 2022 sebagai berikut. Minyak goreng curah Rp 18.650 per kilogram, minyak goreng kemasan bermerk 1 Rp 20.950 per kilogram, dan minyak goreng kemasan bermerk 2 Rp 20.400 per kilogram. Harga ini meningkat sekitar 0,24 persen dibanding tiga hari sebelumnya.

Dengan terus meroketnya harga minyak goreng, akankah ibu-ibu rumah tangga kembali diperhadapkan dengan pilihan sulit, yaitu terpaksa memanfaatkan jelantah (minyak bekas sisa penggorengan) sebagai bahan pembantu pengolahan makanan?

Ironi

Naiknya harga minyak goreng adalah sebuah ironi di tengah booming-nya perluasan perkebunan dan produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di Tanah Air. Kita seakan tak kunjung henti berdiskusi menyoal sawit. Pegiat lingkungan menuding, perluasan perkebunan sawit merusak keseimbangan alam. Indikatornya, tak sedikit harimau dan orang utan yang masuk permukiman manusia karena rusaknya habitat dan kesulitan mencari sumber makanan.

Argumen lain, sawit adalah investasi masa depan dengan berbagai nilai manfaatnya. Produk turunan kelapa sawit dapat dibuat minyak goreng, alat kosmetik, selai mentega, sampo hingga biodiesel. Terlepas soal isu lingkungan, yang membuat miris, kita memiliki produk CPO berlimpah, tapi pihak lain yang menentukan harganya.

Selama ini masyarakat berlogika sederhana: Indonesia memiliki perkebunan kelapa sawit sendiri dan telah memproduksi CPO dalam jumlah besar, seharusnya harga minyak goreng bukan masalah. Ternyata harga minyak goreng masih mahal, menggerus pengeluaran rumah tangga dan usaha kecil.

Sebagian produsen minyak goreng dan produsen CPO entitas bisnisnya berbeda. Perusahaan minyak goreng harus membeli CPO untuk bahan baku utamanya. Ketika harga CPO dunia merangkak naik, harga minyak goreng juga turut naik. Efek dominonya, harga sepotong gorengan di pinggir jalan juga naik, paling tidak ukurannya menjadi kian ramping. Saat ini harga CPO dunia tembus di kisaran US$ 1.340/MT.

Menurut data BPS tahun 2020, luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 14, 58 juta hektar dengan jumlah produksi CPO 44,75 juta ton. Tiga provinsi yang memiliki area perkebunan kelapa sawit terluas adalah Riau (2,86 juta hektar), Kalimantan Barat (2,11 juta hektar), dan Kalimantan Tengah (1,88 hektar).

Periode Januari – Oktober 2021 jumlah produksi CPO Indonesia 23,24 juta ton, sedangkan nilai ekspor mencapai US$ 23,95 miliar. Jumlah itu meningkat 71,13 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu sebesar US$ 13,99 miliar. Negara tujuan eksport terbesar adalah China (4,12 juta ton), India (2,80 juta ton), Pakistan (2,24 juta ton), dan Bangladesh (1,14 juta ton).

Nilai ekspor CPO Indonesia memiliki kecenderungan terus naik seiring kebutuhan CPO di beberapa negara. Meningkatnya harga CPO semestinya memberikan keuntungan bagi negara produsen seperti Indonesia. Apalagi saat ini Malaysia sebagai salah satu negara penghasil CPO tertekan jumlah produksinya, sehingga kita berpotensi mengambil peluang tersebut dengan menggenjot volume ekspor.

Meski demikian, pasokan CPO untuk kebutuhan dalam negeri harus tetap menjadi prioritas sebelum menetapkan eksport.Termasuk kebijakan mandatori biodiesel dengan blending 30 persen(B30) , sebagai upaya berkelanjutan mengurangi ketergantungan pada energi berbahan bakar fosil.

Intervensi

Pemerintah harus melakukan intervensi tata niaga CPO di dalam negeri. Diperlukan regulasi konstruktif agar harga CPO tetap terjaga, sehingga harga minyak goreng dan beberapa komoditiasyang berbahan baku kandungan CPO dapat dikendalikan. Hingga saat ini belum ada beleid kepada produsen CPO agar menurunkan harga pemasaran dalam negeri untuk menstabilkan harga minyak goreng. Padahal produsen CPO lahan sawitnya di areal HGU milik negara.

Stimulus yang akan dilakukan pemerintah adalah menggelontorkan minyak goreng murah bersubsidi sebanyak 1,2 miliar liter dengan harga Rp 14.000 per liter . Anggaran subsidi berasal dari dana pungutan eksport sawit sebesar Rp 3,6 triliun. Direncanakan subsidi akan dipersiapkan untuk enam bulan ke depan dan akan selalu dievaluasi. Subsidi minyak goreng murah merupakan ‘katup pengaman’ untuk mempertahankan daya beli masyarakat dan bergeraknya rantai perekonomian.

Sejatinya, masyarakat dan Usaha Kecil Menengah(UKM) dapat dilibatkan untuk ikut mengembangkan industri minyak goreng skala kecil di desa-desa. Baik secara swadaya maupun menjalin kemitraan dengan perusahaan besar. Kementerian terkait harus aktif melakukan pembinaan, terutama pada aspek produksi, penjaminan mutu dan pemasaran. Dengan banyaknya produsen skala kecil diharapkan harga minyak goreng tidak lagi menjadi beban masyarakat.

Industri rumahan pembuatan minyak kelapa sebenarnya telah lama ada di Tanah Air. Kemajuan teknologi dan serbuan minyak goreng kemasan dari sawit membuat minyak kelapa yang diolah secara tradisional itu tak lagi populer.

Naiknya harga minyak goreng dan fluktuatifnya harga CPO dunia ibarat serial drama sinetron yang tak kunjung tamat. Sewaktu-waktu dapat berubah, tidak ada titik normalnya. Subsidi adalah solusi jangka pendek untuk mengimbangi pergerakan harga komoditi. Suka tidak suka, kebijakan subsidi akan mendistorsi potensi sumber pendapatan negara. Kita harus tetap bersemangat sebagai bagian dari bangsa ini, kemandirian ekonomi harus tetap diperjuangkan. (d.c/Reyna)